Senin, 30 Juni 2014

BBM 7D949495 (RAMADHAN 30) MENGKHATAMKAN AL-QUR'AN DI BULAN RAMADHAN

Kajian Ramadhan 30: Mengkhatamkan Al Quran di Bulan Ramadhan

Haruskah mengkhatamkan Al Quran di bulan Ramadhan? Dalam bahasan kajian ramadhan yang telah lewat telah kita bahas bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Al Quran (Kajian Ramadhan 9).

Di antara ayat yang membuktikan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Al Quran yaitu,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran” (QS. Al Baqarah: 185). Ayat ini masih membicarakan puasa Ramadhan. Berarti bisa dipahami bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang dikhususkan bagi kita untuk mengkaji Al Quran.

Khatam Al Quran di Bulan Ramadhan

Apakah mesti Al Quran itu dikhatamkan di bulan Ramadhan, baik saat shalat tarawih maupun di luar shalat?

Ibnu Taimiyah berkata, “Dalam shalat tarawih disunnahkan untuk mengkhatamkan Al Quran kala itu. Inilah yang disepakati oleh para ulama bahkan itulah bagian dari maksud tarawih. Tujuannya adalah supaya kaum muslimin bisa mendengarkan Al Quran seluruhnya di bulan Ramadhan. Karena bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Quran. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang begitu semangat melakukan kebaikan. Beliau lebih bertambah semangat lagi di bulan Ramadhan, saat itu pula Jibril mengajari beliau Al Quran.” (Majmu’ Al Fatawa, 23: 122-123).

Jelas sekali apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Hal ini dianjurkan oleh para ulama supaya kaum muslimin bisa mendengar Al Quran seluruhnya selama sebulan penuh. Kalau ini tidak kita dapatkan dalam shalat, maka kita peroleh dengan tilawah Al Quran di luar shalat dari mushaf.

Memang Tidak Harus

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِى شَهْرٍ » . قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً حَتَّى قَالَ « فَاقْرَأْهُ فِى سَبْعٍ وَلاَ تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ »

Bacalah (khatamkanlah) Al Quran dalam sebulan.” ‘Abdullah bin ‘Amr lalu berkata, “Aku mampu menambah lebih dari itu.” Beliau pun bersabda, “Bacalah (khatamkanlah) Al Qur’an dalam tujuh hari, jangan lebih daripada itu.” (HR. Bukhari No. 5054).

Bukhari membawakan judul Bab untuk hadits ini,

باب فِى كَمْ يُقْرَأُ الْقُرْآنُ .وَقَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) .

“Bab Berapa Banyak Membaca Al Qur’an?”. Lalu beliau membawakan firman Allah,

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran” (QS. Al Muzammil: 20).

Kata Ibnu Hajar bahwa yang dimaksud oleh Imam Bukhari dengan membawakan surat Al Muzammil ayat 20 di atas berarti bukan menunjukkan batasan bahwa satu bulan harus satu juz. Dalam riwayat Abu Daud dari jalur lain dari ‘Abdullah bin ‘Amr ketika Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Berapa hari mesti mengkhatamkan Al Qur’an?” Beliau katakan 40 hari [artinya, satu hari bisa jadi kurang dari satu juz]. Kemudian Nabishallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab lagi, “Satu bulan.” [Artinya, satu hari bisa rata-rata mengkhatamkan satu juz] (LihatFathul Bari, 9: 95).

Ibnu Hajar mengatakan,

لِأَنَّ عُمُوم قَوْله : ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) يَشْمَل أَقَلّ مِنْ ذَلِكَ ، فَمَنْ اِدَّعَى التَّحْدِيد فَعَلَيْهِ الْبَيَان

“Karena keumuman firman Allah yang artinya, “ Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran” mencakup pula jika kurang dari itu (kurang dari satu juz). Barangsiapa yang mengklaim harus dengan batasan tertentu, maka ia harus datangkan dalil (penjelas).” (Fathul Bari, 9: 95)

Ibnu Hajar juga menukil perkataan Imam Nawawi,

وَقَالَ النَّوَوِيّ : أَكْثَر الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا تَقْدِير فِي ذَلِكَ ، وَإِنَّمَا هُوَ بِحَسَبِ النَّشَاط وَالْقُوَّة ، فَعَلَى هَذَا يَخْتَلِف بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَال وَالْأَشْخَاص

“Imam Nawawi berkata, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan hari dalam mengkhatamkan Al Qur’an, semuanya tergantung pada semangat dan kekuatan. Dan ini berbeda-beda satu orang dan lainnya dilihat dari kondisi dan person.” (Fathul Bari, 9: 97).

Abu Sa’id Al Khudri ketika ditanya firman Allah,

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ

Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran ” (QS. Al Muzammil: 20). Jawab beliau, “Iya betul. Bacalah walau hanya lima ayat.” (Disebutkan dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 414).

Dalam riwayat Ath Thabari disebutkan dengan sanad yang shahih, dijawab oleh Abu Sa’id, “Walau hanya lima puluh ayat.” (Diriwayatkan oleh Ath Tahabari, 29: 170).

Dari As Sudi, ditanya mengenai ayat di atas, maka beliau jawab, “Walau 100 ayat.” (Idem).

Intinya semuanya tergantung kemudahan. Bagi yang mudah untuk mengkhatamkan Al Quran satu bulan penuh, silakan khatamkan. Bagi yang tidak mampu, tidaklah terkena dosa.

Ada tips yang bisa kami berikan bagi yang ingin mengkhatamkan Al Quran satu bulan penuh:

- Al Quran terdiri dari 30 juz.

- 1 Juz terdiri dari 20 halaman (10 lembar).

- Buat target, sehabis tiap shalat 5 waktu untuk membaca 4 halaman (2 lembar).

- 1 hari bisa 1 juz yang didapatkan, sebulan bisa dapat 30 juz.

Semoga Allah memudahkan kita untuk menjadikan bulan Ramadhan sebagai syahrul quran (bulan Al Quran). Hanya Allah yang memberi taufik.

Disusun di Pesantren Darush Sholihin menjelang buka puasa, 2 Ramadhan 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Minggu, 29 Juni 2014

BBM 7D949495 KALA MUSA AS BERBURU KEADILAN TUHAN

Kala Musa As. Berburu Keadilan Tuhan
Ilustrasi.
www.zisindosat.com
"Barangsiapa mengerjakan amal perbuatan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan mendapatkan balasannya. Dan, barangsiapa mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah 7-8).

Suatu hari, Nabi Musa as. begitu ingin mengetahui bentuk keadilan Tuhan yang diberikan kepada para hamba-Nya tatkala mereka masih ada di dunia. Ia pun pergi ke Gunung Sinai untuk bermunajat, dan tentu saja mencari jawab atas rasa penasarannya yang mendalam terkait bentuk keadilan Tuhan.
Sesampainya di tempat tujuan, ia pun segera memohon pada Tuhannya, “Robb, perlihatkanlah padaku keadilan dan kejujuran-Mu.”
Tuhan berkata, “Engkau adalah seorang yang terburu-buru, dan tidak mampu bersabar.”
“Kami dapat bersabar dengan pertolongan-Mu,” jawab Musa membujuk.
Tak lama kemudian, Allah pun menyuruh Musa untuk pergi ke sebuah sumber air dan bersembunyi di belakangnya, “Di sana, kau akan lihat kekuasaan dan ilmu-Ku tentang kegaiban.”
Menyadari akan jawaban Sang Maha Kasih, Musa pun bergegas menuju sebuah bukit di hadapan sumber air yang ditujukan Tuhannya. Di sana, ia duduk bersembunyi untuk memperhatikan apa pun yang kelak akan terjadi di depan matanya.
Tak menunggu lama, Musa melihat seorang penunggang kuda datang ke sumber air tersebut. Ia turun dari kudanya, berwudlu dan mengambil sedikit air untuk ia minum. Musa juga melihat sang penunggang kuda itu meletakkan sebuah tas koper berisi uang seribu dinar di sampingnya. Kemudian shalat, lalu kembali menaiki kudanya. Ia lupa koper yang diletakkan di sampingnya dan terus pergi memacu kudanya.
Berikutnya, datanglah seorang anak kecil. Mengambil air minum di sumber air yang sama. Dan, kemudian membawa pergi koper yang ia lihat di sampingnya itu. Tak lama kemudian, datanglah seorang kakek tua yang buta. Ia minum air sumber itu, lalu mengambil air wudlu dan melaksanakan shalat.
Di tengah perjalanan, sang penunggang kuda teringat kopernya yang terlupa. Ia segera kembali ke tempat semula, dan dijumpainya seorang kakek tua tunanetra itu. Si penunggang kuda langsung berkata, “Hai Buta, koperku yang berisi seribu dinar baru saja tertinggal di tempat ini. Karena tidak ada orang lain di sini selain engkau, pastilah kau yang mengambilnya!”
Kakek tua itu menjawab, “Anda kan tahu, aku buta. Bagaimana aku dapat melihat koper?”
Mendengar ucapan kakek itu, si penunggang kuda marah dan naik pitam, lalu mencabut pedangnya. Ditebasnya leher kakek yang malang itu, dan tewas. Ia menggeladah dan mencari kopernya, namun tidak menemukannya. Ia pun pergi, meninggalkan tempat itu.
Pada saat itu, Nabi Musa berkata, “Wahai Tuhanku, kami telah sabar dan Engkau adil. Tapi mohon jelaskanlah maksud peristiwa yang baru saja itu terjadi, agar aku tidak dalam kebingungan.”
Lalu datanglah malaikat Jibril, dan berkata, “Musa, Tuhan berfirman, ‘Aku mengetahui segala rahasia, dan apa pun yang tidak kamu ketahui. Anak kecil yang mengambil koper sesungguhnya telah mengambil hak miliknya sendiri. Hal ini lantaran ayah anak tersebut menjadi buruh penunggang kuda selama bertahun-tahun, namun ia tidak pernah mendapat hasil kerja kerasnya itu, yang bila dihitung jumlah penghasilanya sama dengan jumlah uang yang ada dalam koper itu.
Sedangkan si buta pernah melakukan pembunuhan terhadap pemilik koper yang merupakan ayah si bocah kecil tadi. Ia mendapat hukum qisash darinya. Dan sampailah setiap orang yang punya hak akan mendapat haknya. Baik yang terlihat mata manusia, atau yang sengaja Allah sembunyikan. Keadilan dan kejujuraan Kami sangat rahasia.
Usai mendengar penjelasan itu, Musa segera mengucap istighfar.
------
Kisah ini diolah dari buku “Nasihat Al Ghazali Bagi Penguasa”.
Menurut Imam Al Ghazali, semua orang pada dasarnya menyadari bahwa tak ada sesuatu pun yang lepas dari pengawasan Allah. Dan, karenanya, tak ada satu pun yang bisa lolos dari balasan-Nya. Entah itu yang berlaku zalim atau berbuat baik. Balasan itu, kadang langsung Allah berikan tatkala manusia masih hidup di dunia, atau kelak nanti di Hari Pembalasan, baik melalui orang lain atau langsung ditujukan padanya.
Sayangnya, kita sering lupa tentang peristiwa yang menimpa kita, dan kita pun tidak mengerti dari mana peristiwa itu datang menimpa kita. Parahnya, kadang kita malah menyalahkan orang lain atas berbagai kegagalan yang menimpa hidup kita--yang tak jarang pada akhirnya berujung pada fitnah.
Padahal, sejak dulu, Allah memperingatkan kita dalam kitab suci-Nya, "Barangsiapa mengerjakan amal perbuatan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan mendapatkan balasannya. Dan, barangsiapa mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah 7-8)
Pada suatu kesempatan, Dzul Qarnain ditanya, “Apa yang paling membuatmu senang?”
Ia menjawab, “Dua hal. Pertama, adil dan jujur. Kedua, membalas kebaikan seseorang lebih besar dari kebaikannya.
Dalam hal ini, Rasul Saw. bersabda, “Allah sungguh amat suka pada kebaikan setiap hal. Dan, aku (Rasul) senang jika manusia memotong kambing dengan mempertajam pisaunya, agar ia dapat menghilangkan sakitnya sesembelihan kambing.”
Bayangkan, kepada hewan (saja), Rasul tak mau menyakiti. Lantas, bagaimana dengan sesama manusia, yang bahkan disebut sebagai sebaik-baik penciptaan (Ahsani taqwim)?
“Hai anak manusia, berbuatlah adil, seperti kau senang mendapatkan perlakukan yang adil,” demikian firman Allah, yang dalam Qur’an disebut tatghaw fil mizan, dan ditafsirkan Ibn Qatadah sebagai adil.
Lantas, masihkah (kita) menyalahkan orang lain saat kegagalan menimpa diri kita? Saat gagal dalam ujian, misalnya? Saat gagal dalam bisnis, misalnya? Atau mungkin saat benda kita hilang, misalnya? Dsb. [LS]
- See more at: http://islamindonesia.co.id/detail/1971-Kala-Musa-As-Berburu-Keadilan-Tuhan#sthash.ugDJ3WhQ.dpuf

BBM 7D949495 Ibadah Anda Tidak Hantarkan ke Surga, Kecuali Jika ALLAH SWT meliputi dengan kasih dan sayang-NYA

Ibadah Anda Tidak Hantarkan ke Surga, Kecuali Jika ALLAH SWT meliputi dengan kasih dan sayang-NYA
Ilustrasi
messanasti.blogspot.com
Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang bersyukur?


Hampir sebagian besar kita menduga bahwa, kita dapat memasuki surga-Nya lantaran amal baik yang setumpuk. Dengan meyakini Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa, mengakui Muhammad utusan-Nya, mendirikan shalat lima waktu sehari, berpuasa Ramadhan sebulan penuh, membayar zakat, dan melakukan ibadah haji ke Makkah jika kita mampu.
Bahkan, ada pula yang menambahkannya dengan berbagai amalan atau ibadah sunnah lainnya, dengan harapan bisa memenuhi target terbesar hidup kita, yakni masuk surga. Kita merasa bahwa sederet amal itu sebanding dengan harga surga. Dan, karenanya pantaslah bila kita kemudian dipersilakan memasukinya.
Namun, Ibn Atoilah, dalam hampir setiap aforismenya, mengatakan, manusia perlu waspada bila sudah mulai memuji dirinya, memuji amalnya, bahkan merasa kebenaran itu milik dirinya. Manusia patut menilik kembali keyakinan dalam hatinya, apakah ia benar-benar mengimani Allah dengan segenap keberserahan dirinya, atau hanya ingin menukar semua yang dilakukan dengan surga.
Jika seseorang percaya bahwa melalui tindakan ini mereka akan mendapatkan kebahagiaan mereka di akhirat, ia patut memberikan penilaian ulang terhadap dirinya.
Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Tidak akan ada di antara kalian yang masuk surga lantaran amal ibadah kalian.”
Para sahabat bertanya, "Tidak ada, bahkan itu berlaku untukmu, Ya Rasulullah?"
Rasul menjawab, "Bahkan aku pun tidak, kecuali jika Allah meliputiku dengan kasih dan sayang-Nya."
Cerita dalam hadis di atas bukan berarti kita harus berhenti melakukan kewajiban dan kemudian melakukan tindakan seenaknya tanpa melihat rambu-rambu-Nya. Hadis tersebut menunjukkan apalah artinya kita, yang bahkan sudah melakukan amal sedemikin banyak pun, jika dihitung, tak akan pernah mencukupi segala karunia-Nya.
Betapa sombongnya kita jika berusaha tawar menawar dan menghitung-hitung tiap detail yang kita lakukan guna ditukar dengan surga. Padahal, apa yang dilakukan tidak akan cukup untuk menunjukkan terima kasih kepada Allah atas segala kasih sayang-Nya yang diberikan tanpa henti.
Ada sebuah kisah, yang menceritakan tentang seorang pria petapa memilih hidup di pegunungan untuk menjauhi orang-orang. Hal ini ia lakukan dengan maksud agar tidak melakukan dosa pada makhluk yang lain.
Selama 500 tahun ia menghabiskan waktunya hanya untuk berdoa dan beribadah. Ia hanya makan buah delima yang tumbuh di sekitar tempat petapanya itu. Ia juga hanya meminum mata air di dekatnya, dan tidak melakukan kontak dengan siapa pun. Ia nyaris bebas dari dosa.
Ketika meninggal, Allah berkata kepadanya, "Masukkan ia ke dalam surga karena kasih sayang-Ku". Pria itu berteriak dan berkata, "Dengan amalku, Tuhan".
Ia mengira bahwa amalnya selama 500 tahun, dengan tanpa melakukan dosa sedikit pun mampu ditukar dengan surga, dan mendapatkan pahala yang paling besar.
Allah menjawab dengan mengatakan, "Benarkah kamu ingin diadili?" Kemudian Allah memerintahkan para malaikat, "Perlihatkan buku amalnya, dan hitunglah!”
Para malaikat segera rembukan, membahas setiap detail amal yang pernah dilakukan sang rahib tersebut. Usai menghitung, salah satu malaikat pun melaporkan dan menimbangnya dengan besarnya kasih sayang Allah. "500 tahun ibadah dengan tanpa dosa ditimbang dengan kasih sayang Robbul Izzat.” Ujar sang malaikat.
Pada titik ini, pria itu panik dan menangis seraya berkata, “Ya, Robb. Sungguh karena rahmat-Mu lah aku bisa memasuki surga.”
Ibn Atoilah menjelaskan sederet kisah di atas untuk membimbing kita, agar tidak merasa berhak atas reward sebagai akibat dari amal kita. Bahkan, Allah memberitahu kita dalam Qur’an bahwa semua yang kita lakukan sesungguhnya karena kita dipandu dan diarahkan Dia, sehingga kita mampu melakukan amal-amal yang baik.
Oleh karena itu, Ibn Atoilah menekankan pada kita akan pentingnya sikap keberserahan diri hanya pada-Nya. Harapan kita bisa berjumpa dengan Allah bukan karena kita melakukan amal ibadah. Melainkan, karena kita diperintahkan untuk melakukannya, dan kita akan terus melakukannya bahkan jika tidak ada surga atau neraka.
Jika pun merasa telah melakukan pelanggaran, yang sekiranya membuat Allah murka, maka bukankah Dia, sang maha pengasih (juga) maha pemaaf?
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang terus-menerus bertobat dan menyucikan diri." (Qs. Al Baqarah: 222)
Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ada tiga tipe alasan mengapa manusia menyembah Allah. Pertama, ketaatan para budak. Mereka beribadah dan menyembah Allah hanya karena takut hukuman-Nya, ia takut masuk neraka akibat perbuatannya.
Kedua, ketaatan para pedagang. Mereka beribadah dan menghitung-hitung setiap detail perbuatannya dan kemudian berusaha menimbang, seberapa banyak reward yang mereka dapatkan untuk setiap perbuatannya.
Kedua jenis tipe ketaatan ini banyak terdapat di tengah-tengah kita. Beberapa orang di antara mereka takut meninggalkan kewajiban hanya karena takut mendapat balasan neraka. Beberapa di antaranya lagi butuh motivasi yang dapat membuatnya semangat beribadah, kaitannya dengan besarnya nilai pahala. Jika pahalanya besar, maka ia akan bergegas segera melakukannya. Sebaliknya, jika pahalanya dinilai kecil, tak sungkan-sungkan ia pun berleha-leha terhadapnya.
Tidak ada yang salah dan buruk dari kedua tipe ketaatan ini. Namun, Rasul Saw. merekomendasikan tipe ibadah bentuk ketiga, dan ini merupakan bentuk ketaatan tingkat tertinggi seorang hamba Tuhan. Yakni, ketaatan para pecinta yang berdasarkan rasa syukur.
Segala hal yang dilakukan para pecinta ini diniatkan hanya karena alasan mencintai-Nya, dan karenanya ia ingin mendapatkan ridha-Nya. Mereka benar-benar percaya, apa pun yang dilakukannya didasarkan atas dasar keyakinannya akan Dia yang maha pengasih. Mereka tidak takut apakah yang dilakukan itu mengantarkannya ke surga, atau bahkan ke neraka. Ia hanya yakin bahwa hanya Allah lah yang memang layak untuk disembah.
Hal ini dicontohkan Muhammad Saw. Meski sudah dijamin masuk surga, dan bahkan Allah menjanjikan kenikmatan langsung berjumpa dengan Sang Maha Rahman, namun beliau tetap saja melakukan ibadah. Beliau tidak sekali pun meninggalkan kewajibannya sebagai Muslim. Beliau berdoa, shalat, bangun di tengah malam tahajud, hingga kakinya bengkak.
Ketika Aisyah ra bertanya mengapa dia shalat sunnah begitu banyak, padahal Rasul tahu bahwa Allah telah mengampuni masa lalu dan masa depannya, ia menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Inilah yang dimaksud Ibn Atoilah, “Amal kita bukan alasan bagi keselamatan kita. Kasih dan sayang-Nya lah satu-satunya alasan mengapa kita mendapat keselamatan.”
Kita menyembah karena Allah memerintahkan kita untuk melakukannya dan Dia Maha Tinggi, sehingga memang layak disembah. Ketika kita berdosa atau lalai akan kewajiban di suatu waktu, maka bukankah kembali, bertaubat, merintih pada-Nya merupakan satu-satunya jalan yang amat mulia untuk menggapai rahmat-Nya?

Berbagai sumber

BBM 7D949495 ( HADITS ) DUA KEGEMBIRAAN ORANG BERPUASA

( IBADAH ) PELUANG TERKABULNYA DOA DIHARI-HARI RAMADHAN

Ramadhan kesempatan begitu luas untuk berdoa kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan waktu-waktu mustajab (saat doa berpeluang besar dikabulkan Allah) tersebar dalam beberapa momen khusus sepanjang Ramadhan.

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga golongan yang doa mereka tidak ditolak: (1) orang yang berpuasa hingga ia berbuka, (2) imam yang adil dan (3) doa orang yang dizalimi.” (HR Tirmidzi 3522)

Subhanallah…! Dalam hal berdoa orang berpuasa disetarakan dengan pemimpin yang adil dan orang terzalimi. Doa orang berpuasa mustajab. Didengar, tidak ditolak Allah subhaanahu wa ta’aala. Bahkan dikabulkan insyaAllah.

Setiap orang yang faham hadits ini sangat bergembira menyambut Ramadhan. Sebab itu berarti selama 29 atau 30 hari selama ia berpuasa peluang doanya dikabulkan Allah subhaanahu wa ta’aala sangatlah luas…!

Dan terlebih lagi saat menjelang berbuka ketika menanti tibanya azan Magrib. Kita harus memanfaatkan waktu sebaiknya untuk berdoa saat itu. Maka, saudaraku, manfaatkan kesempatan emas menjelang berbuka dengan mengajukan berbagai permintaan kepada Allah ta’aala. Sebab sebagian masyarakat kita malah menghabiskan waktu dengan ngobrol tidak karuan menjelang magrib di bulan Ramadhan. Padahal coba perhatikan hadits berikut:

سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ

“Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak tertolak pada saat berbuka.” (HR Ibnu Majah 1743)

Lalu apakahlafal khususNabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelang ifthor berbuka puasa? Beliau membaca sebagaimana dijelaskan dalam hadits di bawah ini:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ

وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Jika Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam berbuka, ia berdoa: Dhahabazh-zhoma-u wab tallatil-’uruq wa tsabbatal-ajru insyaa Allah “Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat dan semoga ganjaran didapatkan, insya Allah.” (HR Abu Dawud 2010)

Mengapa di dalam doa berbuka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengatakan: ”…dan semoga ganjaran didapatkan, insya Allah.”?

Karena sesungguhnya yang sangat diharapkan bukan semata kegembiraan pertama sewaktu berbuka di dunia, melainkan yang lebih diharapkan orang beriman ialah kegembiraan kedua yaitu saat bertemu Allah ta’aala di hari berbangkit kelak.

( HADITS ) DUA KEGEMBIRAAN ORANG BERPUASA

Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda dalam hadits sebagai berikut:

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

Bagi orang yang berpuasa terdapat dua kegembiraan. Kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat kelak perjumpaannya dengan Allah ta’aala karena ibadah puasanya.” (HR Bukhary 1771)

BBM 7D949495 ( RAMADHAN ) RAMADHAN BUAT MENCETAK INSAN BERTAQWA, APAKAH CIRI UTAMA ORANG BERTAQWA ?

Yusuf Mansur Network
( KEHIDUPAN ) SEMOGA YANG KAYA DAN YANG MISKIN SEMAKIN BERTAQWA

Magrib telah lewat. Isya belum tiba. Kami – aku dan istriku – berencana berangkat menjenguk salah seorang sahabat yang sakit. Kami pun memperhitungkan akan sholat Isya di perjalanan, di salah satu Masjid atau Musholla yang kami temukan di jalan. Walaupun waktu Isya sebenarnya panjang, tapi kami sedang melatih diri untuk biasa sholat di awal waktu.

Benar saja, separuh perjalanan, adzan berkumandang. Perlahan kami telusuri jalan-jalan kecil di perkampungan. Adzan memang terdengar dari mana-mana, menandai bahwa banyak Masjid atau Musholla di sekitar kami.

Musholla pertama yang kami temui hingar bingar. Anak-anak berlari kesana kemari. Rupanya Musholla ini menyelenggarakan TPA. Suara adzan tak mampu membendung antusiasme anak-anak ini untuk bermain. Kami tak jadi mampir.

Hanya berjarak beberapa ratus meter, kami temui Musholla kedua. Musholla kedua ini tertutup rapat. Tak ada aktifitas apapun. Aneh juga, pikir kami. Kami juga tak jadi mampir. Akhirnya kami temukan musholla ketiga. Juga dengan jarak hanya beberapa ratus meter saja. Masih di jalur jalan yang sama. Alhamdulillah, ada seseorang yang sedang sholat di sana. Kami pun memarkirkan kendaraan roda dua di dekat teras Musholla.

Hanya seorang yang sedang sholat, dan sedang tahiyat awal. Aku pun bermasbuk, menjadi satu-satunya makmum di Musholla itu.

Usai sholat, kami – aku dan sang imam – berbincang-bincang singkat.

”Sepi ya Musholla-nya?” tanyaku. Pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban sebenarnya.

Pak Imam membenarkan, dan meneruskan dengan penuh prihatin terhadap kondisi masyarakat di sekitarnya. Orang-orang malas ke Masjid. Padahal sebagian besar penduduk bukanlah orang kantoran, alias jam sekian sudah seharusnya sudah berada di rumah. Profesi mereka rata-rata tukang ojeg, jualan kecil-kecilan, dan sektor informal lainnya. Mereka lebih tersihir oleh tontonan televisi ketimbang panggilan untuk menghadap Rabb-nya.

Aku membenarkan juga kata-katanya. Sepanjang jalan yang aku lalui, banyak anak remaja yang duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka ’sibuk’ membicarakan entah apa. Suara adzan tak berarti apa-apa buat mereka.

Selanjutnya pak Imam menanyakan dari mana kedatanganku, dan tak lupa menanyakan pula bagaimana semangat sholat berjamaah di lingkunganku.

Sejujurnya kusampaikan bahwa tempat tinggalku sebenarnya tak terlalu jauh. Aku tinggal di perkampungan, dekat pinggiran kompleks. Jadi aku lebih sering sholat di Musholla atau Masjid kompleks, yang asri dan terawat. Jamaah sholatnya cukup banyak. Bahkan saat Maghrib bisa hampir memenuhi Masjid. Sedangkan sholat shubuh pun cukup ramai, menandai warga sekitar Masjid cukup semangat memakmurkan Masjid mereka. Warga kompleks dan sekitarnya umumnya dari kalangan berpunya. Rata-rata mereka punya kendaraan roda empat.

Aku pun tergoda untuk menyimpulkan, pada kasus ini, yang kaya justru semakin menunjukkan peningkatan ketaatan. Mereka lebih peduli terhadap ibadah, dan lebih rajin mengikuti kajian-kajian keislaman. Dari arus kas masjid pun dapat disimpulkan bahwa warga sekitar masjid ini gemar berinfaq.

Sebaliknya, setiap kali adzan berkumandang, cukup banyak tukang becak yang sesungguhnya tidak melakukan apa-apa selain hanya duduk-duduk. Mereka tidak bergerak meninggalkan becak mereka. Aku pun kembali miris, seolah kemiskinan berbanding lurus dengan kemalasan beribadah.

* * * * *

Tapi benarkah kekayaanlah yang mendorong seseorang menjadi lebih bertaqwa? Tentu kesimpulan ini terlalu tergesa-gesa. Sebagaimana tak perlu pula kita menyimpulkan bahwa kemiskinanlah yang menyebabkan seseorang malas beribadah.

Ada pengalaman-pengalaman lain yang setidaknya memberikan perspektif lain kepadaku.

Tengoklah itu, Mas Yono, tetanggaku yang mengontrak rumah petak bersama istri dan lima orang anaknya. Seolah hampir tak peduli dengan pembeli, setiap adzan Magrib ia langsung meninggalkan gerobak baksonya, bergegas memenuhi panggilan Allah. Lihat pula abang-abang tukang roti, tukang es dan tukang entah apa lagi, yang ramai memarkirkan gerobaknya di pelataran masjid. Mereka bergegas memenuhi panggil Rabb-nya di tengah-tengah usaha mereka mencari nafkah.

Mereka, kaum mustadhafin itu, berdiri dan duduk berdampingan dengan orang-orang yang memiliki rumah gedongan dan kendaran mewah. Semua sama di mata Allah. Allah hanya melihat bagaimana mereka menyikapi kemiskinan sebagaimana Allah menilai bagaimana saudara-saudara mereka menyikapi kekayaan.

Sementara itu, boleh jadi di saat yang lain, saudara-saudara mereka yang bekerja di ruang-ruang AC yang sejuk, masih asyik chatting atau melihat-lihat berita gosip di internet, meski waktu sholat telah masuk. Atau boleh jadi dengan alasan pekerjaan belum selesai, mengejar deadline, dan alasan-alasan ’logis’ lainnya, mereka jadi merasa menemukan pembenaran untuk menunda-nunda sholatnya. Apalagi jika diimbuhi dengan argumentasi ”toh masih sholat, dari pada enggak?”

Alasan seperti ini sesungguhnya hanya mencerminkan betapa rapuhnya hubungan seseorang dengan Rabb-nya, yang telah memberinya aneka kemudahan, kelapangan, dan kenikmatan.
Betapa kenyamanan tak selamanya berujung ketaatan.
Yusuf Mansur Network
( RAMADHAN ) RAMADHAN BUAT MENCETAK INSAN BERTAQWA, APAKAH CIRI UTAMA ORANG BERTAQWA ?

Tujuan utama dan terbesar ibadah shaum (puasa) sepanjang bulan Ramadhan adalah untuk melahirkan insan bertaqwa. Lalu apa sebenarnya ciri orang bertaqwa menurut Allah ta’aala? Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali ayat yang menggambarkan ciri orang bertaqwa. Namun barangkali salah satu ayat yang menggambarkan ciri utama orang bertaqwa adalah ayat sebagai berikut:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

”Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS Al-An’aam ayat 32)

Jelas sekali berdasarkan ayat di atas bahwa Allah ta’aala menghendaki orang bertaqwa agar memandang bahwa kehidupan di akhirat yang kekal dan hakiki adalah lebih baik daripada kehidupan di dunia yang fana dan menipu. Hal ini sejalan dengan penggambaran dalam ayat lainnya, yaitu:

وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآَخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut ayat 64)

Allah ta’aala menghendaki agar orang bertaqwa memandang kehidupan akhirat dengan penuh kesungguhan karena di sanalah kehidupan sejati akan dijalani manusia. Sedangkan terhadap dunia Allah ta’aala menghendaki orang bertaqwa agar berlaku proporsional saja dan tidak terlampau ngoyo dalam meraih keberhasilannya. Sebab kehidupan dunia ini Allah ta’aala gambarkan sebagai tempat dimana orang sekedar bermain-main dan bersenda-gurau.

Di dunia, pada hakikatnya, orang tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati maupun mengalami penderitaan hakiki. Sementara di akhirat orang bakal senang di surga dalam pengertian yang sesungguhnya dan abadi pula. Dan sebaliknya, di dalam neraka orang akan merasakan penderitaan sejati dan kekal pula. Maka, saudaraku, alangkah naif, hina dan ruginya orang yang rela mempertaruhkan kehidupan abadinya di akhirat kelak dengan alasan ingin merebut keberhasilan dunia. Sungguh orang-orang yang hidup dengan logika sekular seperti itu tentu akan menyesal sangat ketika baru menyadarinya setelah ia berada di alam akhirat. Mereka akan mengakui kekeliruan dan dosa mereka pada saat yang sudah terlambat dan keadaan sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ فَاعْتَرَفُوا بِذَنْبِهِمْ فَسُحْقًا لِأَصْحَابِ السَّعِيرِ

”Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Al-Mulk ayat 10-11)

Pantaslah bilamana Allah ta’aala memerintahkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar menjauh dari kaum pencinta dunia. Sebab mereka tidak pernah peduli dengan peringatan yang datang dari Allah ta’aala dan RasulNya.

فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ

”Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan hanya menginginkan kehidupan duniawi. Itulah batas pengetahuan mereka.” (QS An-Najm ayat 29-30)

Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memperingatkan dalam sebuah haditsnya bahwa dampak negatif menjadi pemburu dunia sangat jelas’

مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ

“Barangsiapa yang dunia adalah ambisinya, niscaya Allah ta’aala cerai-beraikan urusannya dan dijadikan kefakiran di hadapan kedua matanya dan Allah tidak memberinya dari harta dunia ini, kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya.” (HR Ibnu Majah 4095)

Dan sebaliknya, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelaskan manfaat yang diperoleh orang bertaqwa yang menjadikan akhirat sebagai perhatian utamanya.

وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

“Dan barangsiapa yang akhirat menjadi keinginannya, niscaya Allah ta’aala kumpulkan baginya urusan(dunia)-nya dan dijadikan kekayaan di dalam hatinya dan didatangkan kepadanya dunia bagaimanapun keadaannya.” (HR Ibnu Majah 4095)

BBM 7D949495 (RAMADHAN 29) SHALAT TARAWIH : SHALAT SEMALAM SUNTUK

Kajian Ramadhan 29: Shalat Tarawih, Shalat Semalam Suntuk

Ternyata shalat tarawih walau kita lakukan 30 – 60 menit, bisa meraih pahala shalat semalam suntuk. Bagaimana bisa demikian?

Dari Abu Dzar, ia berkata,

صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ مِنَ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِى السَّادِسَةِ وَقَامَ بِنَا فِى الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَقَالَ « إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ». ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِىَ ثَلاَثٌ مِنَ الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِى الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلاَحَ. قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلاَحُ قَالَ السُّحُورُ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.

“Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidaklah pernah melaksanakan shalat malam bersama kami hingga tersisa tujuh hari bulan Ramadhan. Beliau lantas shalat bersama kami hingga berlalu sepertiga malam. Ketika tersisa enam hari, beliau tidak shalat bersama kami. Namun ketika tersisa lima hari, beliau shalat bersama kami hingga berlalu pertengahan malam. Kami katakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana seandainya kami melakukan shalat sunnah lagi untuk malam yang tersisa ini?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya siapa saja yang shalat bersama imam hingga imam itu selesai, maka ia dicatat telah mengerjakan shalat semalam suntuk (semalam penuh).

Beliau tatkala itu tidak shalat bersama kami hingga Ramadhan tersisa tiga hari. Beliau shalat bersama kami pada tersisa tiga hari dari Ramadhan. Beliau lantas mengerjakan shalat malam kala itu bersama keluarga dan istri-istrinya hingga kami khawatir dengan “falah”. Aku bertanya padanya, “Apa yang dimaksud falah?” Ia menjawab, “Yaitu waktu sahur.” (HR. Tirmidzi no. 806. Abu Isa Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Hadits di atas menunjukkan bagaimanakah keutamaan yang besar dari shalat tarawih. Walau cuma lakukan sesaat bersama imam,tidak sampai semalam penuh, namun tetap pahalanya dicatat semalam penuh. Itulah hikmah yang luar biasa jika seseorang shalat bersama imam hingga imam selesai, walau imam mengerjakan dengan 23 raka’at, asalkan thuma’ninah. Hadits di atas pun menunjukkan bagaimanakah semangat beliau dalam melakukan shalat malam hingga bisa sampai waktu sahur.

Adapun beliau hanya melakukan selama tiga malam saja hanyalah bertujuan agar umatnya tidak menganggapnya wajib. Namun setelah beliau wafat, para salaf sudah merutinkan shalat tarawih secara berjama’ah karena sudah tidak dianggap wajib lagi.

Keutamaan shalat tarawih yang lainnya disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6: 36).

Hanya Allah yang memberi taufik.

Disusun selepas Maghrib, 2 Ramadhan 1435 H di Pesantren DS.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id


BBM 7D949495 (RAMADHAN 28) RAMADHAN BULAN UNTUK MEMPERBANYAK DOA

Kajian Ramadhan 28: Ramadhan, Bulan untuk Memperbanyak Doa

Ramadhan adalah bulan doa di mana saat ini doa begitu diperkenankan. Jadi perbanyaklah doa memohon setiap hajat kita, baik hajat dunia maupun akhirat kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)

Ibnu Katsir menerangkan bahwa masalah ini disebutkan di sela-sela penyebutan hukum puasa. Ini menunjukkan akan anjuran memperbanyak doa ketika bulan itu sempurna, bahkan diperintahkan memperbanyak doa tersebut di setiap kali berbuka puasa. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 66).

Apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah salah waktu terkabulnya doa. Namun doa itu mudah diijabahi jika seseorang punya keimanan yang benar.

Ibnu Taimiyah berkata, “Terkabulnya doa itu dikarenakan benarnya i’tiqod, kesempurnaan ketaatan karena di akhir ayat disebutkan, ” dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Majmu’ Al Fatawa, 14: 33-34).

Ramadhan adalah waktu terkabulnya doa dikuatkan lagi dengan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ

Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.” (HR. Al Bazaar. Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 10: 14) mengatakan bahwa perowinya tsiqoh -terpercaya-. Lihat Jaami’ul Ahadits, 9: 224)

Tiga waktu yang bisa digunakan untuk memperbanyak doa:

1- Waktu sahur

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb kita tabaroka wa ta’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Dia berfirman, “Siapa saja yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758). Imam Nawawi berkata, “Pada waktu itu adalah waktu tersebarnya rahmat, banyak permintaan yang diberi dan dikabulkan, dan juga nikmat semakin sempurna kala itu.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 36).

Ibnu Hajar juga menjelaskan hadits di atas dengan berkata, “Doa dan istighfar di waktu sahur adalah  diijabahi (dikabulkan).” (Fathul Bari, 3: 32).

2- Saat berpuasa

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Ahmad 2: 305. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan berbagai jalan dan penguatnya)

Kata Imam Nawawi, “Disunnahkan orang yang berpuasa berdoa saat berpuasa dalam urusan akhirat dan dunianya, juga doa yang ia sukai, begitu pula doa kebaikan untuk kaum muslimin.”(Al Majmu’, 6: 273)

3- Ketika berbuka puasa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terzalimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16: 396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena saat itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7: 194)

Semoga bermanfaat. Semoga Allah memperkenankan doa-doa kita di bulan Ramadhan.

Disusun di Panggang, Gunungkidul @ Pesantren Darush Sholihin, 1 Ramadhan 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Sabtu, 28 Juni 2014

BBM 7D949495 (RAMADHAN 24) TINGGALKANLAH DUSTA

Kajian Ramadhan 24: Tinggalkanlah Dusta!

Dalam berpuasa, kita dilarang keras berkata dusta. Walau dusta terlarang sepanjang waktu bukan hanya ketika puasa saja. Dusta pun tidak pernah membawa kebaikan, yang ada hanyalah keburukan.

Perintah meninggalkan dusta saat berpuasa telah disebutkan dalam hadits berikut ini,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903)

Zuur yang dimaksud dalam hadits di atas adalah dusta. Berdusta dianggap jelek setiap waktu. Namun semakin teranggap jelek jika dilakukan di bulan Ramadhan. Hadits di atas menunjukkan tercelanya dusta. Seorang muslim tentu saja harus menjauhi hal itu.

Dusta merupakan tanda kemunafikan. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Ada tiga tanda munafik: jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanat, ia khianat.” (HR. Bukhari no. 33)

Al Hasan Al Bashri berkata,

الكَذِبُ جِمَاعُ النِّفَاقُ

“Dusta dapat mengumpulkan sifat kemunafikan.” (Romadhon Durus, hal. 39).

Dusta juga merupakan cabang kekafiran. Dusta menunjukkan rendahnya diri seseorang dan jauh dari sifat terpuji.  Dari Ibnu Mas’udradhiyallahu ‘anhu, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)

Dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1: 200, hasan shahih). Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.

Di antara faktor yang mendorong seseorang biasa berdusta, bisa jadi karena tidak takut akan siksa atau hukuman dari Allah, bisa juga karena ingin mendapatkan kebaikan yang cepat diperoleh di dunia. Dusta juga bisa terjadi pula karena jauh dari Allah dan tidak khawatir akan siksa-Nya. Dusta bisa muncul pula karena kebiasaan dan didikannya yang jelek.

Marilah jadikan bulan Ramadhan ini ajang untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik.

 

Referensi:

Romadhon Durusun wa ‘Ibarun – Tarbiyatun wa Usrorun, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, terbitan Dar Ibnu Khuzaimah, cetakan kedua, tahun 1424 H.

Disusun di sore hari @ Pesantren Darush Sholihin GK, 27 Sya’ban 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

BBM 7D949495 TUKANG RAMAL

Siapa Saja yang Disebut Tukang Ramal?

Pembaca yang budiman, al ‘arrafatau tukang ramal adalah orang yang hina dalam Islam. Mereka melakukan perbuatan kufur yaitu mengklaim mengetahui ilmu gaib, padahal hanya Allah lah yang mengetahui ilmu gaib. RasulullahShallallahu’alaihi Wasallambersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

Barangsiapa yang mendatangi al ‘arraf (tukang ramal), maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima” (HR. Muslim)

dalam riwayat lain:

من أَتَى عَرَّافًا أو كاهنًا فصَدَّقه بما يقولُ ، فقد كَفَر بما أُنْزِلَ على مُحَمَّدٍ

barangsiapa yang mendatangi al ‘arraf (tukang ramal), lalu membenarkan apa yang ia katakan, orang tersebut telah kafir terhadap syariat yang diturunkan kepada Muhammad” (HR. Ahmad, Al Hakim, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 5939)

Telah dibahas mengenai kebobrokan tukang ramal dan hal-hal yang terkait dengannya dalam beberapa artikel di web ini:

Namun dalam bahasan kali ini akan kita perdalam mengenai definisi al ‘arraf atau tukang ramal berdasarkan penjelasan para ulama. Agar kaum Muslimin tidak salah paham dan salah mengira siapa tukang ramal itu. Simak bahasan singkat berikut ini:

Definisi secara bahasa

Secara bahasa, al ‘arraf artinya dukun atau tabib, atau orang yang bisa menyembuhkan penyakit. Al Jauhari mengatakan:

العراف الكاهن والطبيب

al ‘arraf adalah dukun atau tabib” (Al Alfazh Al Musthalahat Al Muta’alliqah bit Tauhid, 434)

dalam kamus Lisaanul ‘Arab:

يقال للحازِي عَرَّافٌ وللقُناقِن عَرَّاف وللطَبيب عَرَّاف لمعرفة كل منهم بعلْمِه. والعرّافُ الكاهن

“Al Haazi disebut juga ‘arraf, Qunaqin disebut juga ‘arraf, tabib disebut juga ‘arraf, karena mereka sangat mengetahui bidang tersebut dengan ilmu mereka. Dan ‘arraf juga artinya dukun”

الحازِي: الذي ينظر في الأَعضاء وفي خِيلانِ الوجْهِ يتَكَهَّنُ. ابن شميل: الحازِي أَقَلُّ علماً من الطارق، والطارقُ يكاد أَنْ يكون كاهِناً،

Al Haazi adalah orang yang melihat pada anggota tubuh dan pucatnya wajah untuk mengetahui seseorang diganggu dukun atau tidak. Ibnu Syamil mengatakan, ‘Al Haazi lebih rendah ilmunya dari thariq‘, thariq di sini maksudnya dukun”

القُناقِنُ البصير بجرّ المياه واستخراجها

Al Qunaqin adalah orang yang bisa melihat aliran air (di bawah tanah) dan tahu dimana tempat keluarnya”

demikian definisi al ‘arraf secara bahasa.

Definisi syar’i

Berikut ini definisi al ‘arraf secara istilah syar’i, yang dimaksud dalam hadits-hadits:

Al Khathabi mengatakan,

الذي يزعم أنه يعرف الأمور، بمقدمات أسباب، يستدل بها على مواقعها، كالشيء يسرق فيعرف المظنون به السرقة

al ‘arraf adalah orang yang mengetahui perkara-perkara, dengan pertanda-pertanda yang ia jadikan dalil (alasan) bahwa ia tahu perkara tersebut. Seperti ketika ada barang yang dicuri ia bisa meramal siapa pencurinya” (dinukil dari Al Alfazh Al Musthalahat Al Muta’alliqah bit Tauhid, 434)

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan,

والعراف هو الحازر، والمنجم، الذي يدعى علم الغيب، وهي من العرافة، وصاحبها عراف، وهو الذي يستدل على الأمور بأسباب، ومقدمات، يدعي معرفتها، وقد يعتضد بعض أهل هذا الفن في ذلك، بالزجر، والطرق، والنجوم، وأسباب معتادة في ذلك، وهذا الفن هو العيافة بالياء. وكلها ينطلق عليها اسم الكهانة

“‘al arraf adalah orang suka meramal, atau munjim (orang meramal dengan bintang), yaitu orang-orang yang mengklaim mengetahui ilmu gaib. istilah ini darial ‘arrafah, pelakunya disebut ‘arraf. Yaitu orang yang mengetahui perkara-perkara, dengan pertanda-pertanda dan sebab-sebab yang ia jadikan alasan bahwa ia tahu perkara tersebut. Mereka menggunakan berbagai sarana, ada yang dengan zajr (telapak tangan), dengan tharq (melempar tongkat), dengan bintang, dan sebab-sebab lain yang ia yakini. bidang ilmu dalam masalah ini disebut ‘iyafahdengan huruf ya’, dan semuanya berporos dari perdukunan” (Al Alfazh Al Musthalahat Al Muta’alliqah bit Tauhid, 435)

Al Baghawi mengatakan,

العراف: الذي يدعي معرفة الأمور بمقدمات يستدل بها على المسروق ومكان الضالة

al ‘arraf: orang yang mengklaim mengetahui perkara-perkara, dengan pertanda-pertanda yang ia jadikan dalil (alasan) bahwa ia tahu perkara tersebut, semisal mengetahui barang yang dicuri atau mengetahui letak barang yang hilang” (dinukil dari Kitab At Tauhid Ibnu Abdil Wahhab, 77)

Imam Ahmad mengatakan:

العراف طرف من السحر والساحر أخبث

al ‘arraf adalah bagian dari sihir, namun tukang sihir lebih buruk darial ‘arraf” (dinukil dari Taisirul Aziz Syarah Kitab At Tauhid, 352)

Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan:

والكهانة بفتح الكاف ويجوز كسرها، ادعاء علم الغيب، كالإخبار بما سيقع في الأرض، مع الاستناد إلى سبب، والأصل فيه استراق الجن السمع من كلام الملائكة، فيلقيه في أذن الكاهن. والكاهن لفظ يطلق على العراف

Al Kahanah (perdukunan), dengan kaf di fathah atau boleh di kasrah, artinya mengklaim tahu ilmu gaib. seperti mengabarkan bahwa akan terjadi suatu hal di bumi dengan bersandarkan pada suatu sebab. Dan asal pengetahuan dia adalah dari jin yang mencuri dengan dari percakapan malaikat, kemudian jin tersebut membisikan ke telinga dukun. dan al kahin (dukun) adalah lafadz yang di-mutlaq-kan (disamakan secara umum) kepadaal ‘arraf” (dinukil dari Al Alfazh Al Musthalahat Al Muta’alliqah bit Tauhid, 429)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

العراف: اسم للكاهن والمنجم والرمال ونحوهم، ممن يتكلم في معرفة الأمور بهذه الطرق

al ‘arraf: istilah untuk dukun dan ahli nujum dan ar rammal (tukang ramal dengan lemparan batu) dan semisalnya, yaitu orang-orang yang berbicara mengenai perkara-perkara dengan jalan yang demikian” (Majmu’ Fatawa, 35/137).

Beliau juga mengatakan:

إن العراف اسم للكاهن والمنجم والرمال ونحوهم، كالحازر الذي يدعي علم الغيب أو يدعي الكشف

al ‘arraf: istilah untuk dukun dan ahli nujum dan ar rammal dan semisalnya, yang mengaku mengetahui ilmu gaib atau mengklaim punya ilmu kasyaf(menguak hakikat yang tersembunyi)” (Fathul Majid Syarah Kitab At Tauhid, 298).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

والخلاصة: أن العلماء اختلفوا في تعريف العراف، فقيل: هو الذي يدعي معرفة الأمور بمقدمات يستدل بها على مكان لمسروق والضالة ونحوها، فيكون شاملا لمن يخبر عن أمور وقعت. وقيل: الذي يخبر عما في الضمير. وقيل: هو الكاهن، والكاهن: هو الذي يخبر عن المغيبات في المستقبل

“Ringkasnya, para ulama berbeda pendapat mengenai definisi al ‘arraf.
Sebagian mengatakan: al ‘arrafadalah orang yang mengklaim mengetahui perkara-perkara, dengan pertanda-pertanda yang ia jadikan dalil (alasan) bahwa ia tahu perkara tersebut, semisal mengetahui barang yang dicuri atau barang yang hilang. maka ini mencakup semua orang yang mengabarkan perkara-perkara yang terjadi (dengan cara tersebut).
sebagian lagi mengatakan: al ‘arrafadalah orang yang mengabarkan perkara yang ada di dalam hati
sebagian lagi mengatakan: al ‘arrafadalah al kahin (dukun). dan al kahinitu orang yang mengabarkan perkara-perkara gaib di masa depan” (Majmu’ Fatawa War Rasail, 9/544)

Perkara inderawi dan yang bisa dihitung bukan ramalan dan perdukunan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “bukan merupakan dukun sama sekali, orang yang mengabarkan sesuatu yang bisa diketahui dengan perhitungan. Karena perkara-perkara yang bisa diketahui dengan perhitungan bukanlah perdukunan sama sekali. Sebagaimana jika ada yang mengabarkan akan terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan, ini bukan perdukunan, karena ini diketahui dengan perhitungan. Sebagaimana juga jika ada yang mengabarkan bahwa matahari akan tenggelam 20 derajat dari garis lintang misalnya pada jam sekian dan sekian. Ini bukan ilmu gaib. Atau misalnya mereka mengatakan bahwa di awal tahun nanti akan muncul komet Halley, yaitu benda langit yang memiliki ekor panjang. Ini sama sekali bukan perdukunan. Karena ini merupakan perkara-perkara yang bisa diketahui dengan perhitungan. Semua kabar yang diketahui dengan perhitungan, walaupun terjadi di masa depan, tidak dianggap sebagai ilmu gaib dan bukan perdukunan.

Lalu apakah kabar tentang kondisi cuaca 4 sampai 20 jam ke depan atau semisal itu merupakan perdukunan? Jawabnya, bukan perdukunan. Karena hal ini juga bersandarkan pada hal-hal yanghissiyah (inderawi), yaitu kesesuaian cuaca. Karena cuaca itu menyesuaikan diri dengan sifat-sifat tertentu, bisa diketahui dengan parameter-parameter tertentu oleh para ahli cuaca. Dengan hal itu bisa diketahui apakah akan hujan atau tidak hujan. Dan ini bisa dilihat dengan sains praktis, jika kita melihat awan-awan mendung berkumpul, lalu ada petir, kilat dan awan menjadi pekat, kita katakan sepertinya hujan akan turun.

Intinya, perkara yang bersandarkan pada hal-hal yang hissiyah(inderawi), maka ini bukan ilmu gaib. Walaupun orang-orang awam mengira ini adalah perkara gaib, dan mengklaim bahwa membenarkan hal seperti ini sebagaimana membenarkan dukun. Mengingkari perkara yang diketahui secara inderawi adalah perbuatan yang buruk, sebagaimana dikatakan oleh As Safarini:

فكل معلوم بحس أو حجا ** فنكره جهل قبيح بالهجا

“setiap perkara yang diketahui secara inderawi atau secara akal, mengingkarinya adalah sebuah kejahilan yang buruk terhadap bahasa”

Maka hal-hal yang diketahui secara secara inderawi tidak mungkin mengingkarinya. Walau seseorang mengingkarinya dengan alasan syar’iat, maka justru itu merupakan perendahan terhadap syari’at. (Al Qaulul Mufid Syarah Kitab Tauhid, 1/531-532)

Zhan bukan ramalan

Jika kita cermati definisi para ulama di atas mengenai tukang ramal, maka tukang ramal ramal itu memiliki unsur-unsur berikut:

  • Ia sama dengan dukun
  • Ia mengklaim mengetahui suatu perkara yang gaib, seperti ajal, rezeki, nasib, kejadian di masa depan, atau barang yang tersembunyi, atau kejadian yang tidak tampak, atau lainnya
  • Ia sudah mengklaim mengetahui perkara gaib sebelum melakukan ramalan
  • Yang diklaim diketahui oleh peramal adalah perkara gaib, bukan perkara yang nampak, atau inderawi atau bisa diperhitungkan
  • Ia menyandarkan pengetahuannya itu pada sebab-sebab yang tidak syar’i, seperti mmebaca telapak tangan, melempar tongkat, membaca bintang-bintang, atau semacamnya
  • Ia biasanya mendapatkan informasi dari jin yang mencuri dengar perkataan Malaikat di langit

Oleh karena itu Syaikh Abdul Aziz bin Baz mendefinisikan:

الذي يدعي علم الغيب بواسطة الجن، هذا يقال له: عراف، ويقال له: كاهن

“orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib lewat perantara jin, ini disebut ‘arraf, dan disebut juga kahin” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 3/341)

العرافون: هم الذين يدعون علم المغيبات، وعلم الحوادث بطرق غير شرعية

al ‘arrafun adalah orang-orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, dan mengetahui kejadian-kejadian dengan jalan yang tidak syar’i” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 3/343)

Ini adalah definisi yang bagus, komprehensif dan gamblang dari beliau rahimahullah.

Adapun jika seseorang menyatakan suatu hal yang tidak sampai mengklaim mengetahui atau mengklaim tahu secara yakin pasti, maka ini masuk dalam bab Az Zhan(sangkaan) bukan ramalan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan,

ظن، وهو إدراك الشيء مع احتمال ضد مرجوح

zhan adalah mengetahui sesuatu disertai adanya kemungkinan lain yang dianggap lemah” (Al Ushul min Ilmil Ushul, 15)

Dalam Al Qamush Al Muhith,

الظَّنُّ: التَّرَدُّدُ الراجِحُ بين طَرَفَي الاعْتِقَادِ الغيرِ الجازِمِ

az zhan adalah sangkaan yang lebih kuat dari dua keyakinan, namun belum sampai yakin benar”.

Dalam Lisaanul ‘Arab,

الظَّنُّ شك ويقين إلاَّ أَنه ليس بيقينِ عِيانٍ، إنما هو يقينُ تَدَبُّرٍ، فأَما يقين العِيَانِ فلا يقال فيه إلاَّ علم

az zhan mencakup ragu dan yakin, namun yakin di sini bukan yakin secara pasti, tapi yakin berdasarkan penelitian. adapun yakin yang secara pasti itu tidak disebut kecuali dengan istilah: ilmu”

Contohnya, perkataan “menurut hasil terawangan, jalan ke Jakarta hari ini macet, anda tidak usah pergi“, ini adalah ramalan. namun perkataan, “sepertinya kalau saya pergi ke Jakarta pagi ini akan kena macet, karena hari ini hari Senin”, inizhan (sangkaan), bukan ramalan. Dan hukum zhan itu dirinci, ada zhan yang boleh dan ada yang tidak boleh. Namun tidak kita bahas pada kesempatan ini.

Firasat bukan ramalan

At Tahanawi berkata,

الفِرَاسَة هي الاستدلال بالأمور الظَّاهرة على الأمور الخفيَّة

“firasat adalah berdalil dengan perkara-perkara zhahir untuk menyimpulkan perkara tersembuyi (batin)” (Kasyaful Isthilahaat Al Funun Wal ‘Ulum, 2/1265, dinukil dari http://dorar.net/enc/akhlaq/1121). Oleh karena itu, firasat ini biasanya dimiliki orang-orang yang berilmu (agama). Ibnu Syuja’ Al Kirmani mengatakan:

من شخص بصره عن المحارم وأمسك عن الشهوات ، وعمر باطنه بدوام المراقبة وظاهره باتباع السنة ، وعود نفسه أكل الحلال ، لم تخطئ فراسته

“barangsiapa yang menundukkan pandangannya dari hal yang haram, dan menahan nafsunya dari syahwat, dan senantiasa me-manage hatinya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, dan senantiasa mengamalkan sunnah, membiasakan diri memakan yang halal, maka firasatnya tidak akan salah” (Hilyatul Auliya, 566).

Banyak sekali kisah dari para salaf tentang firasat mereka yang benar mengenai suatu hal yang belum terjadi. Maka firasat ini sekilas nampak seperti ramalan, namun hakikatnya berbeda dalam 2 hal:

  1. Firasat secara umum, pelakunya tidak mengklaim tahu ilmu gaib, tidak sebagaimana dukun. Dukun mengklaim mengetahui ilmu gaib, dan dia merasa bangga dengan klaim pengetahuannya itu. Bahkan terkadang ia banyak muridnya karena pengakuannya tersebut. Berbeda dengan orang yang berfirasat. Ia tidak mengklaim tahu ilmu gaib, apalagi berbangga dengan pengetahuannya itu.
  2. Ramalan tukang ramal atau dukun, mereka menggunakan pertanda-pertanda yang tidak syar’i. Sedangkan firasat menggunakan pertanda-pertanda yang syar’i

(lihat Al Mughni Al Murid Syarah Kitab Tauhid 5/1866, dinukil dari http://www.dorar.net/enc/akhlaq/1123)

Demikian semoga bisa lebih dipahami apa itu ramalan dan tukang ramal.

Wallahu a’alam.

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id