Sabtu, 08 Maret 2014

Komunikasi Ala Nabi

Dalam islam, komunikasi yang baik tidak hanya ditinjau dari satu aspek, melainkan secara menyeluruh dari segala aspeknya. Dalam hal ini, ada empat keunggulan komunikasi ala Nabi:
  • Tujuan atau niat
Hati yang baik dan itikad yang baik adalah kunci utama komunikasi. Baiknya niat menjadikan setiap kata yang terucap memberikan kedamaian bagi orang yang mendengarnya. Karena itu, kesucian batin dari kedengkian dan kebencian menjadi idaman bagi setiap orang.
Kesucian batin dalam menjalani kehidupan ini begitu penting, sampai-sampai Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memintanya kepada Allah :
“Ya Allah, limpahkanlah ketakwaan kepada jiwaku, dan sucikanlah jiwaku, karena Engkaulah sebaik-baik yang mensucikannya dari noda. Engkaulah pemelihara jiwaku dengan segala kenikmatan, dan Engkau pula penguasanya.” (HR. Muslim)
Niat atau tujuan, walaupun jauh tersembunyi dalam hati, berperan vital dalam segala urusan manusia. Kehendak yang baik tercermin dari tindakan yang positif, sebagaimana kehendak yang buruk terpancar pada tindakan yang buruk.
Beliau bersabda:
“Ketahuilah bahwa dalam ragamu terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging ini baik, maka seluruh ragamu akan baik. Dan apabila segumpal daging ini rusak, maka seluruh ragamu akan rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Salah satu alasan mengapa harus mempertimbangkan tujuan berkomunikasi adalah demi efisiensi berbagai potensi diri sendiri. Waktu, tenaga, pikiran, dan ruang adalah sebagian dari nikmat Allah yang wajib digunakan seefektif mungkin.
“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia menyia-nyiakannya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Kerugian besar akibat banyak bicara tanpa maksud dan yang jelas pasti dapat dirasakan. Betapa seringnya berkomunikasi sekadar mengisi waktu luang, tidak memiliki tujuan yang jelas. Bukan hanya menyia-nyiakan potensi diri, bahkan sering kali menuai dampak negatif dari pembicaraan yang isinya omong kosong.
Dengan perencanaan yang matang sebelum berkomunikasi berarti kita telah memegang kunci sukses dalam hidup ini. Sebagaiamana petuah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal:
“Maukah engkau aku ajarkan kunci segala urusan?” Spontan Mu’adz menjawab: “Tentu saja.” Beliau pun memegang lisannya dan berpesan: “Hendaklah kamu menahan anggota tubuh yang satu ini.” Ingin mengetahui lebih jauh, Mu’adz kembali bertanya: “Wahai Nabi Allah, haruskah kita bertanggung jawab atas setiap ucapan kita?” Mendengar pertanyaan ini, Beliau menjawab: “Betapa meruginya ibumu, hai Mu’adz. Adakah yang menyebabkan manusia tersungkur dalam neraka selain tutur kata mereka sendiri?” (HR. At-Tirmidzi)
  • Kandungan maknanya
Harus disadari bahwa setiap kata yang terucap pasti diminta pertanggungjawabannya. Kesadaran terhadap hal tersebut, akan mendorong kita untuk lebih waspada dan selektif dalam bertutur kata. Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan berbeda dengan orang selainnya. Saat sebagian orang menduga ucapannya sekadar untuk mengisi waktu luang, orang yang beriman tetap meyakini bahwa ucapannya termasuk bagian dari amalan.
Tidak ada satu huruf pun yang keluar dari lisan seseorang yang luput dari hisab. Semuanya ditulis dan mempunyai dampak, bisa positif dan bisa negatif bagi keselamatan diri kita di dunia maupun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf:18)
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar selalu waspada terhadap kata yang terucap :
“Bisa jadi seorang hamba mengucapkan suatu kata yang tidak dia pedulikan maknanya, namun ia menjerumuskannya ke neraka melebihi jarak timur dan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Pilihan kata
Pemilihan kata-kata yang baik dan santun menjadi kunci tercapainya tujuan dan terwujudnya komunikasi yang efektif.
Amarah yang berkobar-kobar bisa padam ketika berhadapan dengan sikap santun dan tutur kata yang lembut. Sebaliknya, kasih sayang dapat berganti menjadi kebencian, kekerabatan menjadi permusuhan akibat tutur kata yang kasar dan menusuk perasaan. Allah menekankan hal ini demi menjaga keharmonisan hubungan di seluruh lapisan masyarakat. Allah Ta’ala berfirman:
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh syaitan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia.’” (QS. Al-Isra: 53)
Tutur kata yang santun dan lembut juga dapt menjadi kunci sukses keberhasilan hidup kita. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) kamu berlaku lemah dan lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali ‘Imran:159)
Ibnu katsir rahimahullah menjelaskan: “Maksudnya, ‘Andai engkau bertutur kata buruk dan berhati kaku, niscaya umatmu akan menjauh dan meninggalkanmu. Namun, Allah menyatukan mereka dibawah bimbinganmu, dan Allah melemahlembutkan perilakumu untuk memikat hati mereka.’ Hal ini selaras dengan penuturan Abdullah bin Amr Al-Ash:
“Aku menemukan gambaran karakter Rasulullah dalam kitab-kitab suci terdahulu sebagai berikut. Beliau tidak bertutur kata kasar, tidak kaku, dan tidak suka berteriak-teriak di pasar. Beliau juga ridak suka membalas dendam, justru lebih suka memaafkan dan melupakan.”
  • Efek ucapan
Islam menekankan perhatian terhadap dampak dari suatu ucapan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Muslim sejati adalah orang yang kaum muslimin lainnya merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama memaparkan hikmah didahulukannya lisan sebelum tangan dari hadits di atas sebagai berikut.
  • Dampak gangguan lisan atau ucapan lebih besar dibandingkan dampak gangguan tangan atau tindakan.
  • Gangguan lisan lebih mudah terjadi dibandingkan gangguan tangan.
  • Pedihnya luka akibat gangguan lisan melebihi pedihnya luka akibat gangguan tangan, sampai-sampai pepatah Arab menyatakan: “Luka sabetan pedang bisa disembuhkan, tapi luka takkan terobati karena lisan.”
  • Gangguan lisan dapat menimpa orang yang masih hidup maupun orang yang telah mati, sedangkan gangguan tangan hanya dapat menimpa orang yang masih hidup.
  • Gangguan lisan dapat menimpa seluruh lapisan masyarakat, tanpa membedakan antara penguasa dan rakyat jelata, tidak seperti gangguan tangan yang terikat dengan strata sosial kemasyarakatan.
Para ulama menegaskan, tidak ada manusia yang kuasa menjaga lisan kecuali batinnya dipenuhi dua hal: (1) rasa takut kepada hukuman dan siksaan Allah; serta (2) rasa rindu kepada pahala-Nya. Apabila keduanya telah terpenuhi, niscaya menjaga lisan menjadi pekerjaan ringan. Jika lisan telah dapat dikendalikan, niscaya akan bertutur kata seperlunya dan berbicara bebas dari dampak negatif.
***
Diambil dari buku Cerdas Berkomunikasi ala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  karya Dr. M. Arifin Badri, M.A. dengan sedikit pengeditan dari redaksi.
Artikel Muslimah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar