Minggu, 30 November 2014

7EBBB81B @ISLAMVX C002B561F PELAJARA DARI AYAT WAKTU SHOLAT

Dalam ayat Al Quran sudah ada keterangan mengenai waktu shalat. Bagaimanakah waktu shalat tersebut?

Allah Ta’ala berfirman,

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (78) وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (79)

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 78-79).

Ayat di atas berisi perintah Allah kepada hamba-Nya untuk menunaikan shalat. Perintah shalat ini dijelaskan pada ayat yang beraneka ragam. Perintah dalam Al Qur’an dijelaskan dengan kalimat ‘iqamah shalat’ seperti dalam ayat yang kita kaji. Kalimat tersebut lebih bagus penyebutannya dibandingkan dengan ‘if’aluhaa’ yang bermakna ‘kerjakanlah’.

Perintah ‘iqamah shalat’ yang berarti menegakkan shalat bermakna perintah untuk mengerjakan shalat dengan melengkapi rukun, syarat dan penyempurananya secara lahir dan batin. Shalat inilah yang dijadikan syariat lahiriyah yang nampak dan merupakan syiar Islam yang terbesar.

Ayat yang kita kaji di atas bukan hanya menjelaskan tentang perintah mendirikan shalat, namun juga diterangkan mengenai waktu-waktunya. Inilah yang menjadi keistimewaan ayat tersebut dibandingkan ayat lainnya. Di sini dijelaskan lima atau tiga waktu shalat.

Yang disebutkan dalam ayat adalah ibadah wajib. Sedangkan penyandaran pada waktunya menunjukkan akan sebab shalat itu ada.

Tiga Macam Waktu Shalat

Waktu pertama yang disebutkan adalah waktu ‘duluk’. Yang dimaksudkan adalah waktu setelah matahari tergelincir mengarah ke arah barat (arah matahari tenggelam). Adapun yang dimaksud dengan waktu pertama adalah shalat Zhuhur yang berada di awal waktu duluk dan shalat Ashar yang berada di akhir waktu duluk.

Waktu kedua adalah ‘ghasaqil lail’. Yang dimaksudkan adalah gelap malam. Shalat yang dikerjakan di awal ghasaq adalah shalat Maghrib, sedangkan di akhirnya adalah shalat Isya.

Waktu ketiga adalah waktu fajar. Disebut dalam ayat dengan “Qur-anal Fajri”, yang dimaksud adalah shalat fajar (shalat Shubuh). Shalat Shubuh disebut qur-anal fajri karena saat Shubuh adalah waktu yang disunnahkan untuk memperlama bacaan Al Quran. Keutamaan membaca Al Quran saat itu karena disaksikan oleh Allah, oleh malaikat malam dan malaikat siang.

Pelajaran dari Ayat yang Membicarakan Waktu Shalat

1- Disebutkan lima waktu shalat secara tegas. Seperti ini tidak disebutkan pada ayat lainya. Ada ayat lain yang menyebutkan,

فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ

“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh.” (QS. Ar Rum: 17).

2- Semua yang diperintahkan dalam ayat adalah kewajiban. Karena perintah tersebut dikaitkan dengan waktu dan yang dimaksud adalah shalat lima waktu. Shalat lima waktu ini boleh diiringi dengan shalat-shalat rawatib dan juga boleh diikuti shalat lainnya.

3- Waktu shalat termasuk syarat sah shalat dan yang jadi sebab shalat itu ada. Adapun ketetapan awal dan akhir waktu dilihat dari ketetapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits. Sebagaimana ada ketetapan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai jumlah raka’at, jumlah sujud dan berbagai tata caranya.

4- Shalat Zhuhur dan Ashar boleh dijamak di satu waktu karena ada uzur, begitu pula shalat Maghrib dan Isya. Karena Allah menggabungkan masing-masing dari dua shalat tersebut untuk satu waktu bagi yang uzur. Sedangkan bagi yang tidak mendapatkan uzur tetap dua waktu (tidak digabungkan).

5- Ayat tersebut juga menerangkan tentang keutamaan shalat Shubuh, juga keutamaan memperlama bacaan saat shalat tersebut.

Kenapa sampai disebut bahwa memperlama bacaan saat shalat Shubuh ada keutamaan?

Karena berdiri adalah bagian dari rukun shalat. Kalau ibadah disebutkan dengan suatu bagiannya, itu menunjukkan keutamaan bagian tersebut.

Juga dapat diambil faedah bahwa bagian yang disebutkan untuk mengibaratkan shalat termasuk rukun. Lihat saja, kadang Allah mengibaratkan shalat dengan qiraah (bacaan), dengan ruku’, dengan sujud, dan dengan berdiri, ini menunjukkan semuanya termasuk rukun dari shalat.

6- Yang dimaksud ayat,

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Dan pada sebahagian malam hari shalatlah tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 78-79). Ini adalah perintah pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat di waktu malam. Tujuannya supaya mendapatkan kedudukan dan derajat yang tinggi, berbeda dengan nabi lainnya. Fungsi shalat malam ini juga sebagai penghapus dosa.

Makna ayat tersebut bisa pula shalat lima waktu itu wajib bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajib bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan shalat malam (shalat lail) hanyalah wajib bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa salam semata karena kemuliaan beliau di sisi Allah. Jadi tugas yang dibebankan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu banyak lebih dari yang lain. Beliau diberi karunia untuk mengerjakannya sebagai jalan untuk memperbanyak pahala dan meninggikan kedudukannya. Shalat inilah yang membuat beliau meraih maqam (kedudukan) yang terpuji, yaitu mendapatkan syafa’atul ‘uzhma.

Syafa’atul ‘uzhma adalah syafa’at di mana nabi-nabi besar seperti Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan ‘Isa tidak bisa memberikan syafa’at itu, sampai-sampai orang-orang meminta syafa’at tersebut pada Nabi Muhammad (sayyid waladi Adam). Dengan syafa’at inilah, Allah merahmati manusia yang berkumpul di padang mahsyar tersebut, mengangkat kesulitan dan segera diberikan persidangan di tengah-tengah mereka.

Wa billahit taufiq was sadaad. Hanya Allah yang memberikan tambahan ilmu yang bermanfaat.

Referensi:

Taysirul Lathifil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1430 H.

Selesai disusun di waktu malam saat hujan mengguyur Pasar Djowo, Girisekar, Panggang, malam 7 Safar 1436 H

Yang mengharapkan kasih sayang Allah: M. Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar