Kamis, 27 Februari 2014

Kriteria Iklan Yang Syar’i

Kriteria Iklan Yang Syar’i



Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah, ulama ahlussunnah di Aljazair, ditanya: “telah diketahui bersama bahwa iklan komersil –dalam persaingan bisnis- telah menjadi tool utama untuk memromosikan produk dan jasa. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah hukum mendesain suatu iklan promosi? Demikian juga, apakah hukum memasang gambar iklan di berbagai tempat seperti stasiun, jalan-jalan, terminal dan tempat lainnya?”.
Beliau menjawab,
الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلامُ على مَنْ أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصَحْبِهِ وإخوانِه إلى يوم الدِّين، أمَّا بعد
Iklan, baik bersifat komersil maupun non-komersil tercakup ke dalam perkara mu’amalah dan ‘adat. Hukum asal dari perkara tersebut adalah diperbolehkan selama tidak mengandung unsur-unsur terlarang dalam syari’at yang mampu merubah hukumnya menjadi terlarang. Hukum iklan tetap halal dan diperbolehkan selama memenuhi beberapa syarat yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama: Iklan tersebut secara substansi mubah (diperbolehkan)

Terbebas dari berbagai propaganda yang bertentangan dengan hukum syari’at, akhlak, nilai-nilai dan etika Islam. Tidak diperkenankan mendesain suatu iklan yang mengandung gambar-gambar yang dapat memancing syahwat seperti menampilkan gambar wanita yang ber-tabarruj (bersolek) dan telanjang (tidak mengenakan pakaian islami); film-film vulgar; (tidak pula menampillkan iklan) klub-klub malam dan berbagai tempat kemungkaran; karya-karya pelaku kerusakan, kemaksiatan dan kesesatan. Dan tidak diperbolehkan mendesain iklan untuk mempromosikan khamr, rokok, narkotika, dan sejenisnya. Tidak pula mendesain iklan untuk mempromosikan judi dan taruhan, baik judi yang terkait dengan pertandingan olahraga maupun yang tidak. Dan wajib menjauhi seluruhnya, baik iklan tersebut disertai dengan musik atau tidak.
Dengan demikian, segala perantara yang dicap buruk dan dicela oleh syari’at karena mengandung kerusakan serta memiliki potensi merusak agama dan akhlak, seluruhnya diharamkan dan begitupula haram untuk membantunya berdasarkan firman Allah ta’ala,
﴿وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ﴾
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. al-Maaidah: 2).

Kedua: Pihak yang memasang iklan wajib berlaku jujur dan amanah ketika mempromosikan produk dan jasa yang ditawarkan

Tidak diperbolehkan memberikan persepsi yang keliru kepada para pelanggan dan konsumen terhadap produk dan jasa yang diiklankan dengan dusta dan menyembunyikan cacat; menggambarkan ukuran produk yang hendak didesain dan dipromosikan secara berlebihan; memperbesar fitur-fitur produk kepada para pelanggan padahal tidak sesuai dengan kondisi riil dari produk tersebut. Dengan demikian, iklan yang dipasang wajib sesuai dengan kondisi riil dari suatu produk dan jasa, karena kejujuran hukumnya wajin dan merupakan sebab diperolehnya keberkahan, dan sebaliknya dusta dan menyembunyikan cacat diharamkan karena menyebabkan suatu produk dan jasa tidak laku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
البَيِّعَانِ بِالخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا -أَوْ قَالَ: حَتَّى يَتَفَرَّقَا-، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Kedua orang yang saling berniaga memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah –atau beliau mengatakan, “hingga keduanya berpisah”-, dan bila keduanya berlaku jujur dan menjelaskan produk secara jelas, maka akad jual-beli mereka akan diberkahi, dan bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi cacat, niscaya akan dihapuskan keberkahannya.”[1]

Ketiga: tidak diperbolehkan menyebarkan iklan yang mengandung unsur penipuan dan kecurangan

Tidak pula melakukan manipulasi dengan mengiklankan suatu produk yang mengandung unsur pengelabuan dan pemalsuan (barang imitasi) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالمَكْرُ وَالخِدَاعُ فِي النَّار
Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat pengelabuan dan pemalsuuan, tempatnya di neraka.”[2]
Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، وَلاَ يَحِلُّ لمِسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ
Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak halal bagi seorang muslim menjual barang kepada saudaranya yang di dalamnya ada cacat, kecuali ia menerangkan cacat tersebut[3]
Dan juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَشَارَ عَلَى أَخِيهِ بِأَمْرٍ يَعْلَمُ أَنَّ الرُّشْدَ فِي غَيْرِهِ فَقَدْ خَانَهُ
Barangsiapa memberi isyarat kepada saudaranya dalam suatu perkara dan ia mengetahui bahwa yang benar ada pada orang lain, maka sungguh ia telah berkhianat kepadanya[4]

Keempat: Iklan yang ditampilkan tidak mendiskreditkan pedagang yang lain

yaitu dengan menimbulkan kerugian terhadap produk mereka dengan cara merendahkan jenis dagangan mereka dan mencelanya dengan tujuan memperoleh manfaat ekonomi dengan mengorbankan pedagang yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“ Tidak boleh berbuat sesuatu yang berbahaya dan membahayakan orang lain.”[5]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.”[6]

Kelima: Tidak mengecoh para konsumen dengan cara mencontek merek, dari segi nama ataupun logo

Baik kesamaan tersebut tidak disengaja maupun disengaja dengan niat menyesatkan konsumen bahwa produk yang diiklankan merupakan produk yang telah terkenal di pasaran; atau mengiklankannya dengan menyatakan memiliki kualitas yang serupa agar konsumen terkecoh. Hal ini bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ المُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Agama adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya.[7]

Keenam: Berusaha agar iklan tersebut dilakukan dengan transaksi yang memenuhi syarat-syarat akad ijarah

Diantaranya adalah mengetahui nilai transaksi ijarah, durasi waktu akad yang disepakati kedua pelaku transaksi, tempat ijarah memang dapat dimanfaatkan dan dapat diserahterimakan serta terbebas dari ketidakpastian dan ketidakjelasan.
Inilah ketentuan-ketentuan iklan yang kami ketahui agar hukum asalnya tetap terjaga.
والعلمُ عند اللهِ تعالى، وآخرُ دعوانا أنِ الحمدُ للهِ ربِّ العالمين، وصَلَّى اللهُ على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، وسَلَّم تسليمًا.

[1]  HR. Bukhari : 1973 dan Muslim : 3858 dari hadits Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu.
[2]  HR. Ibnu Hibban : 567 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah 1058.
[3] HR. Ibnu Majah : 2246 dan al-Hakim : 2152 dari hadits Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu dan juga diriwayatkan oleh Ahmad : 15583 dari hadits Watsilah bin al-Asqa’ radhiallahu ‘anhu. Dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Baari 4/364 dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jaami’ : 6705.
[4]  HR. Abu Dawud : 3657 dan al-Hakim : 350 dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jaami’ : 6068.
[5]  HR. Ibnu Majah : 2340 dan Ahmad : 23462 dari hadits Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil : 896.
[6]  HR. Bukhari : 13 dan Muslim : 170 dari hadits Anas bin Malik radhiallalhu ‘anhu.
[7]  HR. Muslim : 205, Abu Dawud : 4946, Tirmidzi : 1926, an-Nasaai : 4214 dan Ahmad : 17403 dari hadits Tamim ad-Daari radhiallahu ‘anhu.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.
Artikel Muslim.Or.Id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar