Selasa, 15 Juli 2014

BBM 7D949495 SOMBONG

( HIKMAH ) PUJIAN DAN SANJUNGAN YANG BERLEBIHAN

Pengertian I’jaab bin Nafsi mengandung beberapa arti. Antara lain: "Rasa senang, tertarik, atau kagum." A’jabahul-amruartinya "sesuatu itu telah menjadikannya senang", u’jiba bihi, artinya, "ia menjadi terikat dengannya". (Kitab lisanul-Arab, 1/185). Allah SWT berfirman:

وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (QS. al-Baqarah : 221)

قُل لَّا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ ۚ

Katakanlah, "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu." (QS. al-Maidah : 100)

dengan sesuatu’. Seorang mu’jib berarti ‘orang yang merasa megah, agung dan besar’ ketika ia memiliki sesuatu, baik kebaikan atau keburukan. (Kitab lisanul-Arab,1/185)

Allah Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا

Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun. (QS. at-Taubah : 25)

Menurut istilah dalam dakwah, I’jaab bin-nafsi yaitu ‘rasa senang dan bahagia, baik pada diri pribadi, kata-kata, ataupun perbuatan yang dilakukannya, tanpa memperhitungkan orang lain’.

Sama saja, baik kesenangan itu karena suatu kebaikan atau keburukan, yang terpuji atau tercela. Jika dalam rasa senangnya itu disertai sikap mengejek atau merendahkan perbuatan orang lain, maka hal tersebut disebut ghuruur atau sangat ‘ujub’.

( Pujian Dan Sanjungan )

Ada sebagian orang yang senantiasa memperoleh pujian atau sanjungan secara langsung yang tidak memperhatikan adab memuji yang diajarkan oleh Islam, ia akhirnya tergila-gila dan mabuk kepayang karenanya. Lalu, ia beranggapan bahwa sanjungan dan pujian itu karena kelebihan dan kehebatan yang dimilikinya yang tidak dimiliki orang lain.

Cetusan hati ini akan terus-menerus menari-nari dalam jiwanya sampai akhirnya ia tertimpa i’jaab bin-nafsi (membanggakan diri). Semoga Allah melindungi kita hal tersebut.

Barangkali inilah sebabnya Rasulullah shallahu alaihi wassalam mencela sanjungan dan pujian di hadapan orang yang dipuji, secara berlebihan.

Mujahid bin Abi Mu’ammar meriwayatkan bahwa suatu hari pernah ada seseorang yang memuji seorang pemimpin. Kemudian Miqdad ibnul-Aswad menaburkan tanah ke mukanya, kemudian berkata:

"Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan tanah kemuka orang yang suka memuji". (HR. Muslim)

Abdul Rahman bin Abi Bakrah meriwyatkan dari ayahnya bahwa pernah seseorang memuji orang lain di dekat Rasulullah shallahu alaihi wassalam. Melihat hal itu lalu beliau bersabda, "Celakalah bagimu, kamu telah memotong leher saudaramu".

Rasulullah saw mengatakannya dengan berulang kali, kemudian bersabda lagi,"Jika salah seorang dari kalian harus memuji kawannya, maka hendaklah berkata, ‘Aku mengira fulan, dan hanya Allah yang berhak menilai, dan tidak sepatutnya seseorang menyucikan sesuatu mendahului penilaian Allah, aku mengira dia itu -jika telah mengetahuinya- begitu dan begini’."(HR Bukhari dan Muslim)


Foto: ‎( HIKMAH ) PUJIAN DAN SANJUNGAN YANG BERLEBIHAN

Pengertian I’jaab bin Nafsi mengandung beberapa arti. Antara lain: "Rasa senang, tertarik, atau kagum." A’jabahul-amruartinya "sesuatu itu telah menjadikannya senang", u’jiba bihi, artinya, "ia menjadi terikat dengannya". (Kitab lisanul-Arab, 1/185). Allah SWT berfirman:

وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (QS. al-Baqarah : 221)

قُل لَّا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ ۚ

Katakanlah, "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu." (QS. al-Maidah : 100)

dengan sesuatu’. Seorang mu’jib berarti ‘orang yang merasa megah, agung dan besar’ ketika ia memiliki sesuatu, baik kebaikan atau keburukan. (Kitab lisanul-Arab,1/185)

Allah Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا

Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun. (QS. at-Taubah : 25)

Menurut istilah dalam dakwah, I’jaab bin-nafsi yaitu ‘rasa senang dan bahagia, baik pada diri pribadi, kata-kata, ataupun perbuatan yang dilakukannya, tanpa memperhitungkan orang lain’. 

Sama saja, baik kesenangan itu karena suatu kebaikan atau keburukan, yang terpuji atau tercela. Jika dalam rasa senangnya itu disertai sikap mengejek atau merendahkan perbuatan orang lain, maka hal tersebut disebut ghuruur atau sangat ‘ujub’. 

( Pujian Dan Sanjungan )

Ada sebagian orang yang senantiasa memperoleh pujian atau sanjungan secara langsung yang tidak memperhatikan adab memuji yang diajarkan oleh Islam, ia akhirnya tergila-gila dan mabuk kepayang karenanya. Lalu, ia beranggapan bahwa sanjungan dan pujian itu karena kelebihan dan kehebatan yang dimilikinya yang tidak dimiliki orang lain. 

Cetusan hati ini akan terus-menerus menari-nari dalam jiwanya sampai akhirnya ia tertimpa i’jaab bin-nafsi (membanggakan diri). Semoga Allah melindungi kita hal tersebut.

Barangkali inilah sebabnya Rasulullah shallahu alaihi wassalam mencela sanjungan dan pujian di hadapan orang yang dipuji, secara berlebihan.

Mujahid bin Abi Mu’ammar meriwayatkan bahwa suatu hari pernah ada seseorang yang memuji seorang pemimpin. Kemudian Miqdad ibnul-Aswad menaburkan tanah ke mukanya, kemudian berkata:

"Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan tanah kemuka orang yang suka memuji". (HR. Muslim)

Abdul Rahman bin Abi Bakrah meriwyatkan dari ayahnya bahwa pernah seseorang memuji orang lain di dekat Rasulullah shallahu alaihi wassalam. Melihat hal itu lalu beliau bersabda, "Celakalah bagimu, kamu telah memotong leher saudaramu". 

Rasulullah saw mengatakannya dengan berulang kali, kemudian bersabda lagi,"Jika salah seorang dari kalian harus memuji kawannya, maka hendaklah berkata, ‘Aku mengira fulan, dan hanya Allah yang berhak menilai, dan tidak sepatutnya seseorang menyucikan sesuatu mendahului penilaian Allah, aku mengira dia itu -jika telah mengetahuinya- begitu dan begini’."(HR Bukhari dan Muslim)‎

( HIKMAH ) DENGAN BERSYUKUR RAIH BAHAGIA DAN BEBASKAN FIKIRAN

Orang yang bersyukur dengan otomatis akan mensetting pola pikirnya menuju yang positif. Dan ibarat yang mendera fisik dan batinnya pun tetap disikapinya dengan senyum.
Pikirannya menuntunnya untuk berpendapat bahwa, mungkin kesakitan itu untuk menghapus dosanya, atau mungkin mengingatkan dia agar lebih dekat kepada yang kuasa dan beristigfar atas semua dosa dan khilafnya.

Bagi orang yang mudah meringankan hatinya untuk bersyukur, akan merasa sangat menyayangkan sekali ketika dia hanya bisa menilai orang dari sudut pandang kelemahan mereka saja.

Karena kesyukuran itu bukan hanya diterapkan kepada jalan hidupnya, namun juga dalam ringannya penerimaan orang lain untuk masuk ke dalam hatinya.

Tidak mudah mulutnya mencaci, dan berat bagi hatinya untuk mengghibah kekurangan saudaranya, walau hanya dia dan Allah saja yang mengetahui.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat orang yang lebih di atas kalian. Yang demikian ini (melihat ke bawah) akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.” (HR. Muslim).


Foto: ( HIKMAH ) DENGAN BERSYUKUR RAIH BAHAGIA DAN BEBASKAN FIKIRAN

Orang yang bersyukur dengan otomatis akan mensetting pola pikirnya menuju yang positif. Dan ibarat yang mendera fisik dan batinnya pun tetap disikapinya dengan senyum.
Pikirannya menuntunnya untuk berpendapat bahwa, mungkin kesakitan itu untuk menghapus dosanya, atau mungkin mengingatkan dia agar lebih dekat  kepada yang kuasa dan beristigfar atas semua dosa dan khilafnya.

Bagi orang yang mudah meringankan hatinya untuk bersyukur, akan merasa sangat menyayangkan sekali ketika dia hanya bisa menilai orang dari sudut pandang kelemahan mereka saja. 

Karena kesyukuran itu bukan hanya diterapkan kepada jalan hidupnya, namun juga dalam ringannya penerimaan orang lain untuk masuk ke dalam hatinya. 

Tidak mudah mulutnya mencaci, dan berat bagi hatinya untuk mengghibah kekurangan saudaranya, walau hanya dia dan Allah saja yang mengetahui.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat orang yang lebih di atas kalian. Yang demikian ini (melihat ke bawah) akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.” (HR. Muslim).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar