( HIKMAH ) PUJIAN DAN SANJUNGAN YANG BERLEBIHAN
Pengertian I’jaab bin Nafsi mengandung beberapa arti. Antara lain: "Rasa senang, tertarik, atau kagum." A’jabahul-amruartinya "sesuatu itu telah menjadikannya senang", u’jiba bihi, artinya, "ia menjadi terikat dengannya". (Kitab lisanul-Arab, 1/185). Allah SWT berfirman:
وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (QS. al-Baqarah : 221)
قُل لَّا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ ۚ
Katakanlah, "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu." (QS. al-Maidah : 100)
dengan sesuatu’. Seorang mu’jib berarti ‘orang yang merasa megah, agung dan besar’ ketika ia memiliki sesuatu, baik kebaikan atau keburukan. (Kitab lisanul-Arab,1/185)
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا
Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun. (QS. at-Taubah : 25)
Menurut istilah dalam dakwah, I’jaab bin-nafsi yaitu ‘rasa senang dan bahagia, baik pada diri pribadi, kata-kata, ataupun perbuatan yang dilakukannya, tanpa memperhitungkan orang lain’.
Sama saja, baik kesenangan itu karena suatu kebaikan atau keburukan, yang terpuji atau tercela. Jika dalam rasa senangnya itu disertai sikap mengejek atau merendahkan perbuatan orang lain, maka hal tersebut disebut ghuruur atau sangat ‘ujub’.
( Pujian Dan Sanjungan )
Ada sebagian orang yang senantiasa memperoleh pujian atau sanjungan secara langsung yang tidak memperhatikan adab memuji yang diajarkan oleh Islam, ia akhirnya tergila-gila dan mabuk kepayang karenanya. Lalu, ia beranggapan bahwa sanjungan dan pujian itu karena kelebihan dan kehebatan yang dimilikinya yang tidak dimiliki orang lain.
Cetusan hati ini akan terus-menerus menari-nari dalam jiwanya sampai akhirnya ia tertimpa i’jaab bin-nafsi (membanggakan diri). Semoga Allah melindungi kita hal tersebut.
Barangkali inilah sebabnya Rasulullah shallahu alaihi wassalam mencela sanjungan dan pujian di hadapan orang yang dipuji, secara berlebihan.
Mujahid bin Abi Mu’ammar meriwayatkan bahwa suatu hari pernah ada seseorang yang memuji seorang pemimpin. Kemudian Miqdad ibnul-Aswad menaburkan tanah ke mukanya, kemudian berkata:
"Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan tanah kemuka orang yang suka memuji". (HR. Muslim)
Abdul Rahman bin Abi Bakrah meriwyatkan dari ayahnya bahwa pernah seseorang memuji orang lain di dekat Rasulullah shallahu alaihi wassalam. Melihat hal itu lalu beliau bersabda, "Celakalah bagimu, kamu telah memotong leher saudaramu".
Rasulullah saw mengatakannya dengan berulang kali, kemudian bersabda lagi,"Jika salah seorang dari kalian harus memuji kawannya, maka hendaklah berkata, ‘Aku mengira fulan, dan hanya Allah yang berhak menilai, dan tidak sepatutnya seseorang menyucikan sesuatu mendahului penilaian Allah, aku mengira dia itu -jika telah mengetahuinya- begitu dan begini’."(HR Bukhari dan Muslim)
Pengertian I’jaab bin Nafsi mengandung beberapa arti. Antara lain: "Rasa senang, tertarik, atau kagum." A’jabahul-amruartinya "sesuatu itu telah menjadikannya senang", u’jiba bihi, artinya, "ia menjadi terikat dengannya". (Kitab lisanul-Arab, 1/185). Allah SWT berfirman:
وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (QS. al-Baqarah : 221)
قُل لَّا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ ۚ
Katakanlah, "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu." (QS. al-Maidah : 100)
dengan sesuatu’. Seorang mu’jib berarti ‘orang yang merasa megah, agung dan besar’ ketika ia memiliki sesuatu, baik kebaikan atau keburukan. (Kitab lisanul-Arab,1/185)
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا
Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun. (QS. at-Taubah : 25)
Menurut istilah dalam dakwah, I’jaab bin-nafsi yaitu ‘rasa senang dan bahagia, baik pada diri pribadi, kata-kata, ataupun perbuatan yang dilakukannya, tanpa memperhitungkan orang lain’.
Sama saja, baik kesenangan itu karena suatu kebaikan atau keburukan, yang terpuji atau tercela. Jika dalam rasa senangnya itu disertai sikap mengejek atau merendahkan perbuatan orang lain, maka hal tersebut disebut ghuruur atau sangat ‘ujub’.
( Pujian Dan Sanjungan )
Ada sebagian orang yang senantiasa memperoleh pujian atau sanjungan secara langsung yang tidak memperhatikan adab memuji yang diajarkan oleh Islam, ia akhirnya tergila-gila dan mabuk kepayang karenanya. Lalu, ia beranggapan bahwa sanjungan dan pujian itu karena kelebihan dan kehebatan yang dimilikinya yang tidak dimiliki orang lain.
Cetusan hati ini akan terus-menerus menari-nari dalam jiwanya sampai akhirnya ia tertimpa i’jaab bin-nafsi (membanggakan diri). Semoga Allah melindungi kita hal tersebut.
Barangkali inilah sebabnya Rasulullah shallahu alaihi wassalam mencela sanjungan dan pujian di hadapan orang yang dipuji, secara berlebihan.
Mujahid bin Abi Mu’ammar meriwayatkan bahwa suatu hari pernah ada seseorang yang memuji seorang pemimpin. Kemudian Miqdad ibnul-Aswad menaburkan tanah ke mukanya, kemudian berkata:
"Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan tanah kemuka orang yang suka memuji". (HR. Muslim)
Abdul Rahman bin Abi Bakrah meriwyatkan dari ayahnya bahwa pernah seseorang memuji orang lain di dekat Rasulullah shallahu alaihi wassalam. Melihat hal itu lalu beliau bersabda, "Celakalah bagimu, kamu telah memotong leher saudaramu".
Rasulullah saw mengatakannya dengan berulang kali, kemudian bersabda lagi,"Jika salah seorang dari kalian harus memuji kawannya, maka hendaklah berkata, ‘Aku mengira fulan, dan hanya Allah yang berhak menilai, dan tidak sepatutnya seseorang menyucikan sesuatu mendahului penilaian Allah, aku mengira dia itu -jika telah mengetahuinya- begitu dan begini’."(HR Bukhari dan Muslim)

( MASJID ) SARANA IBADAH DAN DAKWAH UNTUK MEMBANGUN HATI YANG BERTAQWA
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda :
سنن أبي داوود ٣٧٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْخُزَاعِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسٍ وَقَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ
Sunan Abu Daud meriwayatkan , Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Al Khuza’i telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas dan Qatadah dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan tiba Hari Kiamat sampai manusia bermegah-megahan dalam membangun Masjid.”
Berkaitan dengan hadis di atas dan untuk menguatkannya, Ibnu Abbas ra berkata, “ Sungguh, umat ini akan menghiasi masjid masjid sebagaimana orang orang Yahudi dan Nasrani menghiasi tempat tempat ibadah dan gereja gereja mereka.
Orang yang memerhatikan –masa sekarang- seluruh penjuru dunia Islam dan alat alat transportasi, akan melihat mereka berbangga bangga seperti ini, menghiasi masjid, dan sombong dalam mendirikan masjid.
Manusia membaca hadis ini dan mengetahuinya bahwa menghiasi masjid termasuk salah satu tanda kiamat. Namun, mereka tetap melakukannya, seolah olah mereka digiring untuk melaksanakan ketaatan dan pembenaran terhadap hadis Rasulullah SAW.
Ibnu Abbas menambahkan, dalam kitab Jami Ash Shaghir karangan As Suyuthi, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Jika kalian mempercantik masjid masjid kalian dan menghiasi mushaf mushaf kalian, kehancuranlah atas kalian.”
Hal itu disebabkan Allah SWT melihat orang orang yang memakmurkan Masjid dengan hati dan iman mereka. Allah SWT menghendaki para hambaNya berhias dengan iman dan mempercantik diri dengan takwa, Itulah yang asli.
Jika masjid masjid telah dihiasi, yang tersisa hanyalah dinding dinding dan perhiasannya. Padahal, semua itu akan musnah ketika terjadi kiamat nanti, sedangkan hati dan iman tidak. Akan tetapi, semua ini memang sudah ketetapan Allah SWT. Keprihatinan kini banyak masjid megah namun diisi sedikit jamaah yang shalat.
Sejatinya kabar dari Rosulullah SAW ini menjadi bahan koreksi bersama bagi kita semua sebagai hamba Allah, untuk lebih memprioritaskan dalam membangun keimanan dan ketaqwaan, selain sisi membangun prasarana ibadah.
Belajar bagaimana memakmurkan masjid, merangkul segala kalangan umat Islam tanpa memandang status sosial untuk dijadikan sebuah komunitas dalam rangka memakmurkan masjid. Nurani yang menuju Allah hanya milik mereka yang bertaqwa dan semoga Allah memberikan hati yang bertaqwa kepada kita semua. Aamiin.

Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda :
سنن أبي داوود ٣٧٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْخُزَاعِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسٍ وَقَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ
Sunan Abu Daud meriwayatkan , Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Al Khuza’i telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas dan Qatadah dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan tiba Hari Kiamat sampai manusia bermegah-megahan dalam membangun Masjid.”
Berkaitan dengan hadis di atas dan untuk menguatkannya, Ibnu Abbas ra berkata, “ Sungguh, umat ini akan menghiasi masjid masjid sebagaimana orang orang Yahudi dan Nasrani menghiasi tempat tempat ibadah dan gereja gereja mereka.
Orang yang memerhatikan –masa sekarang- seluruh penjuru dunia Islam dan alat alat transportasi, akan melihat mereka berbangga bangga seperti ini, menghiasi masjid, dan sombong dalam mendirikan masjid.
Manusia membaca hadis ini dan mengetahuinya bahwa menghiasi masjid termasuk salah satu tanda kiamat. Namun, mereka tetap melakukannya, seolah olah mereka digiring untuk melaksanakan ketaatan dan pembenaran terhadap hadis Rasulullah SAW.
Ibnu Abbas menambahkan, dalam kitab Jami Ash Shaghir karangan As Suyuthi, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Jika kalian mempercantik masjid masjid kalian dan menghiasi mushaf mushaf kalian, kehancuranlah atas kalian.”
Hal itu disebabkan Allah SWT melihat orang orang yang memakmurkan Masjid dengan hati dan iman mereka. Allah SWT menghendaki para hambaNya berhias dengan iman dan mempercantik diri dengan takwa, Itulah yang asli.
Jika masjid masjid telah dihiasi, yang tersisa hanyalah dinding dinding dan perhiasannya. Padahal, semua itu akan musnah ketika terjadi kiamat nanti, sedangkan hati dan iman tidak. Akan tetapi, semua ini memang sudah ketetapan Allah SWT. Keprihatinan kini banyak masjid megah namun diisi sedikit jamaah yang shalat.
Sejatinya kabar dari Rosulullah SAW ini menjadi bahan koreksi bersama bagi kita semua sebagai hamba Allah, untuk lebih memprioritaskan dalam membangun keimanan dan ketaqwaan, selain sisi membangun prasarana ibadah.
Belajar bagaimana memakmurkan masjid, merangkul segala kalangan umat Islam tanpa memandang status sosial untuk dijadikan sebuah komunitas dalam rangka memakmurkan masjid. Nurani yang menuju Allah hanya milik mereka yang bertaqwa dan semoga Allah memberikan hati yang bertaqwa kepada kita semua. Aamiin.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar