Kisah Sufi: Hidangan untuk Baju
Penulis : Lina
Karena aku khawatir kantong sahabatku serat, susah menelan, dan haus, maka aku beri minum secukupnya.
Pada suatu hari Nasruddin menghadiri sebuah pesta pernikahan bersama sahabatnya. Usai bersalaman dengan si empunya hajat, mereka pun bergegas menuju tempat hidangan tersaji.
Namun, ada hal aneh yang membuat Nasruddin mengerutkan dahi. Sang sahabat yang biasa dilihatnya begitu sederhana dalam menyantap makanan, kali ini terlihat begitu berbeda. Ia makan sebanyak-banyaknya, tanpa henti. Bahkan, ia sibuk pula mengisi kantong bajunya dengan makanan.
Melihat hal demikian, Nasruddin kemudian mengambil sebuah teko berisi air di sampingnya. Tanpa berkata apapun, diam-diam Nasruddin mengisi kantong baju sahabatnya itu dengan air. Tentu saja, sang sahabat terkejut dan berteriak, seraya berkata,
“Nasrudin, apakah kamu sudah gila? Masa kantong bajuku kau tuangi air!”
“Maaf, tadi aku lihat betapa banyak makanan ditelan oleh kantongmu. Karena aku khawatir kantong sahabatku serat, susah menelan, dan haus, maka aku beri minum secukupnya,” jawab Nasruddin.
Menyadari sikapnya yang berlebihan dalam hal makanan, sang sahabat pun tersenyum seraya berkata, "Maaf, sahabat. Aku lupa ketika sedang berada di tengah-tengah kenikmatan dunia, hingga melupakan kenikmatan akhirat," ujar sang sahabat yang kadung malu dengan ketamakan dan kerakusan yang baru saja ia lakukan.
-----
Begitulah Nasruddin. Seorang guru sufi yang berusaha menasihati orang-orang di sekitarnya dengan cara-cara humor. Tanpa kata-kata bernada filosofis, tanpa mengutip ayat-ayat suci-Nya, tanpa pula memaksa untuk mengikuti sunnah hadis Rasul Saw., namun mampu mengubah yang buruk menjadi baik.
Dengan kebijaksanaannya, ia berhasil mengemas hal-hal yang sejatinya sangat berat dan sulit, dapat ia selesaikan dengan cara sederhana, lagi santun.
Bayangkan, menasihati orang yang sedang asyik menyantap makanan sembari mengumpulkannya dalam kantong baju—yang dikiranya tak dilihat siapa pun, pasti bukanlah suatu hal yang mudah. Terlebih, orang yang kita nasihati merupakan sahabat sendiri (orang terdekat yang kadang membuat kita sulit untuk menyatakan dengan jujur bahwa ia “salah”).
Namun, dengan humornya, Nasruddin bisa memberikan nasihat itu tanpa harus melukai atau membuatnya tersinggung. Mungkin cara ini juga bisa menjadi salah satu cara untuk menasihati para koruptor. Bukankah nasihat yang halus, tapi juga berbobot ini sejatinya bisa lebih mengena ketimbang nasihat yang keras lagi kaku?
Nasruddin Hoja hidup sekitar abad ke-13 di Turki.
=================================================================
Humor Sufi: Nasruddin Pergi bercukur
Penulis : LS
Satu pipi untuk menanam kapas, dan satu pipi lagi untuk menanam gandum yang lain.
Pada suatu hari, Nasruddin berkaca, dan melihat jenggotnya sudah semakin panjang. Hal ini membuatnya segera bergegas menuju tukang cukur.
Sayangnya, si tukang cukur bekerja teramat lamban. Pisaunya yang tumpul merupakan penyebab pekerjaan ini berjalan begitu lama.
Nasruddin dengan sabar menunggu, menghabiskan waktunya bersama tukang cukur itu bukan hanya dalam hitungan menit, tapi jam.
Sialnya, peristiwa yang membuat dirinya sedikit jengkel itu tidak berhenti pada permasalahan waktu. Karena tumpul, pipi Nasruddin pun jadi tergores hingga berdarah.
Melihat ada bagian yang terluka, tukang cukur kemudian cepat-cepat mengambil sejumput kapas dan meletakkanya pada bagian itu.
Hal tersebut berlangsung tidak hanya satu atau dua kali, tapi hingga beberapa kali sampai wajah Nasruddin penuh dengan jumputan kapas.
Saat tukung cukur hendak melanjutkan bagian pipi yang satunya, tiba-tiba Nasruddin bangun dari kursinya dan melihat wajahnya di kaca.
Sang tukang cukur pun tak enak hati melihat pemandangan yang demikian.
Sementara itu, Nasruddin tersenyum menatap si tukang cukur dan berkata, “Sepertinya gaya seperti ini sudah cukup bagus, saudaraku! Terima kasih, aku memutuskan untuk memakai gaya seperti ini. Satu pipi untuk menanam kapas, dan satu pipi lagi untuk menanam gandum yang lain!”
---------
Nasruddin Hoja merupakan salah satu guru sufi yang hidup sekitar abad ke-13 di Turki. Karena banyaknya ilmu pengetahuan yang ia kuasai, Nasruddin pun dikenal luas sebagai Mullah.
Tak hanya itu, Nasruddin juga dikenal sebagai seorang yang memiliki selera humor tinggi. Alhasil, banyak permasalahan yang dirasa sulit, dapat ia selesaikan dengan cara-cara yang santun dan sederhana melalui humornya yang membumi.
Bayangkan, berkat kebijaksanaanya, ia mampu menahan rasa sakit berjam-jam demi tidak membuat si tukang cukur itu tersinggung. Bahkan, meski terluka, ia lebih memilih pamit dengan humor daripada marah-marah atau menuntut penyembuhan atas lukanya. Lantas, bagaimana dengan kita (yang kadang sedikit saja terluka, gaungnya melampaui headline di media?)
================================================================
Kala Pemuka Nasrani Bela Islam
Penulis : LS
Barangsiapa berani mengganggu umat Islam di negeriku, akan aku tindak dengan tegas. Aku tidak sudi disuap dengan segunung emas untuk mengganggu seorang pun di antara kalian.
Suatu ketika Makkah dalam kondisi kritis. Orang-orang kafir Quraisy mulai mengganggu dan menganiaya para pengikut awal Rasulalllah Saw. atau yang biasa disebut assabiqunal-awwalun.
Mereka, orang-orang yang percaya pada kenabian Muhammad mendapat tekanan musyrikin Quraisy tanpa henti. Melihat ini, Rasul pun gusar dan memerintahkan mereka agar hijrah ke suatu negeri bernama Habasyah. Beliau berkata, “Wahai sahabatku, di negeri Habasyah ada seorang raja yang tidak suka berlaku zalim terhadap sesama. Pergilah kalian ke sana dan berlindunglah di dalam pemerintahannya sampai Allah Swt. membukakan jalan keluar dan membebaskan kalian dari kesulitan ini.”
Maka, rombongan muhajirin pertama dalam Islam yang berjumlah sekitar 80 orang itu pun berangkat ke Habasyah dengan dipimpin Jafar bin Abi Talib, kakak Ali bin Abi Talib.
Hal berbeda mereka rasakan di negeri baru itu. Selain mendapat ketenangan dan rasa aman dalam beribadah, mereka pun bebas menikmati manisnya hidup dalam takwa.
Namun, kondisi itu tak berlangsung lama. Rupanya pihak Quraisy mengendus kabar hijrahnya mereka ke Habasyah. Mereka pun tak tinggal diam ketika mengetahui hal itu dan segera menyusun strategi untuk menghabisi kaum muhajirin itu atau menarik mereka kembali ke Makkah.
Akhirnya, mereka mengirimkan dua orang utusan kepada sang raja di Habasyah. Keduanya tentulah bukan orang sembarangan, yakni Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Dua manusia pilihan Makkah yang sangat diakui kepandaiannya dalam hal diplomasi.
Dengan tekad bulat, mereka pun berangkat sembari membawa hadiah-hadiah dalam jumlah besar. Tujuannya tak lain untuk menyuap sang raja dan para petinggi Habasyah yang memang cukup dikenal menyukai barang-barang mewah Makkah.
Sesampainya di negeri tujuan, terlebih dulu mereka menemui para pejabat Habasyah sambil menyodorkan barang-barang mewah yang dibawa. Amru bin Ash memulai aksinya untuk berdiplomasi, “Wahai para pejabat nan mulia, di negeri Anda telah tinggal sejumlah pengacau dari kota kami. Mereka keluar dari agama nenek moyang dan memecah belah persatuan kami,” ucapnya memprovokator.
“Betul wahai pejabat yang mulia. Karenanya, kami mohon nanti pada saat kami menghadap Raja dan membicarakan masalah ini, dukunglah kata-kata kami untuk menentang agama mereka tanpa bertanya,” tambah Abdullah bin Abi Rabi’ah.
“Kami adalah kaum mereka. Kami lebih mengenal siapakah mereka dan mengharapkan agar kalian sudi menyerahkan mereka kepada kami.” Lanjutnya meyakinkan.
Setelah memilih waktu yang tepat, kedua utusan Makkah itu pun menemui sang raja. Tak lama kemudian, mereka menyampaikan maksudnya, “Tuan, di negeri Anda ada beberapa orang pengacau dari kaum kami. Mereka telah keluar dari agama kami dan tidak pula menganut agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang kami tidak mengenalnya begitu pula Anda. Kami berdua diutus oleh pemimpin kaum kami untuk meminta agar Tuanku mengembalikan mereka kepada kaumnya. Karena kaumnyalah yang lebih tahu apa yang diakibatkan oleh agama mereka, berupa fitnah dan kekacauan yang mereka timbulkan.”
Sang Raja yang terkenal bijak itu menoleh kepada para penasihat istana dan meminta pendapat mereka. Seperti apa yang sudah dipesankan utusan Makkah itu, mereka pun serempak membenarkan.
Namun, sang raja tak begitu saja percaya dengan ucapan dan nasihat semua orang-orang di ruangan itu. Ia pun berkata, “Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapa pun sebelum mendengarkan keterangan langsung dari mulut mereka sendiri. Bila mereka dalam kejahatan, maka aku tidak keberatan untuk menyerahkan kepada kalian. Tapi kalau mereka dalam kebenaran, maka aku akan melindungi dan memelihara mereka selama mereka ingin tinggal di negeri ini.”
Kaum muslimin yang hijrah itu pun dipanggil ke istana. Sesampainya di sana, mereka melihat Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Sementara uskup-uskup kerajaan duduk berkeliling memakai pakaian kebesaran mereka dengan ditemani kitab-kitab yang terbuka di tangan.
Setelah dipersilakan duduk, sang raja mulai menyelidik, “Apa sebenarnya agama yang kalian anut? Kalian meninggalkan agama nenek moyang kalian dan tidak pula mengikuti agama Nasrani (Kristen).
Sang pemimpin rombongan Jafar menjawab: “Wahai Raja, sesungguhnya kami sama sekali tidak menciptakan agama baru. Tapi Muhammad bin Abdullah telah diutus oleh Rabb-nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar serta mengeluarkan kami dari kegelapan menuju terang benderang,”
“Pada awalnya kami tidak lebih dari manusia yang hidup dalam kebodohan. Menyembah api, memutuskan hubungan keluarga, memakan bangkai, berlaku zalim, tidak menyayangi tetangga dan yang kuat selalu menekan yang lemah,”
“Dalam kondisi demikian, Allah Swt. mengutus Rasul yang kami ketahui asal-usulnya, kami percaya pada kejujurannya, amanah dan kesuciannya untuk menyeru kepada Allah Swt. dan mengajak kami melakukan ibadah dan mengesakan-Nya. Dia memerintahkan kami untuk menegakkan salat, membayar zakat, puasa pada bulan Ramadhan dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan batu-batu,”
“Beliau memerintahkan kepada kami agar senantiasa jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, menyambung tali silaturohim, berbuat baik kepada tetangga, menjauhi yang haram, dan menghargai sesama makhluk hidup. Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu dan memakan harta anak yatim. Maka kami beriman dan mengikuti risalahnya serta menjalankan apa yang beliau bawa,”
“Sekarang, kami hanya beribadah kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, mengharamkan apa-apa yang diharamkan bagi kami dan menghalalkan apa-apa yang dihalalkan. Tapi kaum kami memusuhi dan menyiksa kami agar kembali kepada agama nenek moyang, agar kami kembali menyembah patung-patung berhala. Karena itu kamu mencari tempat berlindung. Kami memilih negeri Anda dengan harapan tidak mendapatkan perlakuan yang zalim di sini.”
Mendengar itu, sang raja berkata, “Coba tunjukkan pada kami, kebesaran apa kalian bawa untuk meyakinkan kami.”
Jafar kemudian membacakan surat Maryam ayat 19-32, yang berkisah tentang Isa putra Maryam.
Tampaklah sang raja meneteskan air mata haru. Demikian pula para uskup yang hadir di situ, hingga kitab-kitab di tangan mereka basah oleh air mata.
Sang raja berkata kepada utusan Quraisy tersebut: “Apa yang mereka bacakan kepada kami dan apa yang dibawa oleh Isa As. berasal dari sumber yang sama. Karenanya, aku tidak akan menyerahkan mereka sama sekali kepada kalian selama aku masih hidup.”
“Kalian boleh tinggal dengan aman di negeriku. Barangsiapa berani mengganggu kalian akan aku tindak dengan tegas. Aku tidak sudi disuap dengan segunung emas untuk mengganggu seorangpun di antara kalian.”
Raja kemudian bangkit dari singgasananya, dan pertemuan pun dibubarkan.
----
Konon, peristiwa ini terjadi sekitar tahun ke-7 Hijriah. Mendengar kabar baik itu, Rasul Saw. kemudian mengirimkan surat yang ditulis oleh Zaid bin Thabit sebagai ucapan terima kasih, dan permohonannya untuk mengutus kembali beberapa rombongan berikutnya.
Sang raja yang memiliki nama lengkap Najasyi Asham bin Abjar itu kembali menerima niat baik Nabi. Akhirnya, rombongan berikutnya menyusul, di antaranya ada Amru bin Umayah Adh-Dhamari.
Dikabarkan pula, Raja Najasyi akhirnya memeluk Islam. Ia meninggal dan dimakamkan di sebuah tempat bernama Najash, Ethiopia.
Berbagai Sumber
======================================================================
Kisah Sufi: Cara Rasul Mengenali Umatnya
Penulis : LS
Bagaimana bisa engkau (Rasul) tak mengenaliku? Bukankah aku ini salah satu dari umatmu?
Dikisahkan suatu ketika, seorang pemuda berjumpa Rasulallah Saw. dalam mimpinya. Namun, ia terheran-heran saat pemimpin Islam dunia yang konon ramah lagi bersahaja itu, justru berbanding terbalik dengan apa yang ia dengar. Rasul berpaling muka darinya.
Melihat demikian, pemuda itu pun segera mendekati Nabi utusan Allah itu, “Wahai lelaki gagah di depanku, apakah benar engkau Muhammad Nabiyallah?”
“Ya, aku Muhammad utusan Allah.”
“Lantas, mengapa engkau tidak memandang ke arahku?” tanyanya penasaran. “Apakah engkau marah kepadaku?” lanjut sang pemuda ragu.
“Tidak. Aku tidak marah padamu. Aku tidak memandang ke arahmu, karena aku tidak mengenalimu, Anak Muda,” jawab Rasul ramah.
“Bagaimana bisa engkau tak mengenaliku? Bukankah aku ini salah satu dari umatmu? Dan, bukankah para ulama pernah meriwayatkan bahwa engkau (Rasulullah) mengenal umatmu seperti seorang ibu pada anak kandungnya?.”
“Para ulama benar. Tetapi kamu tidak pernah menyebutku dalam shalawat. Aku mengenal umatku karena mereka bershalawat padaku. Aku mengenal mereka sungguh karena jumlah shalawat yang mereka baca untukku.”
“Anak Muda, apakah kau tahu, bahwa Allah pun bershalawat kepadaku?”
Lelaki itu tiba-tiba terbangun. Keringat mengucur deras di sekujur tubuhnya. Segera kemudian ia bangkit dan mencari penjelasan terkait mimpinya. Benar saja, dalam kitab suci, tertuang penjelasan yang begitu gamblang bahwa Allah dan para malaikat pun bershalawat untuk Nabi.
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab : 56)
Tunggu apa lagi, mari kita bershalawat dan berterimakasih atas segala perjuangan Rasul Saw. yang begitu luar biasa kepada umatnya. Yang begitu gigih membebaskan umat manusia dari zaman jahilah ke zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.
Mari buktikan cinta kita kepada Rasul utusan Allah dengan terus menyebut dan memanggil namanya. Bukankah Dia, Sang Maha Pencipta (saja) mau mengucap shalawat atas Nabi (kita)?
Sumber: diolah dari Mukasyafatul Qulub
================================================================
Kisah Sufi: Murid Seorang Budak
Penulis : Lina Sellin
Mengapa aku begitu marah pada kekurangan dan meratapinya sebagai duka?
Suatu ketika, Balkh dilanda krisis ekonomi. Hampir semua masyarakat di kota itu khawatir akan kelangsungan hidup mereka. Bahkan, seiring dengan krisis itu, muncul pula beragam jenis kejahatan yang “dihalalkan” atas nama kelaparan. Pedagang saling sikut untuk meraih untung. Pemerintah begitu panik sembari mencoba mencari cara agar dapat lepas dari derita kemiskinan. Pun begitu dengan Syaqiq, sang saudagar besar di kota itu.
Namun, ada hal mengejutkan ketika Syaqiq berjalan ke suatu pasar. Dilihatnya seorang budak muda tertawa dengan begitu lepas, seperti tak memiliki beban hidup.
Penasaran dengan aksi sang budak, Syaqiq pun segera menghampiri. “Hai budak, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk bergembira. Tidak tepat untuk bersuka ria. Tidak tepat untuk tertawa!” kata Syaqiq bernada tinggi.
“Tidakkah kau tahu, kalau orang-orang di negeri ini sedang terkena musibah berupa kelaparan?” lanjut Syaqiq.
“Mengapa aku harus khawatir, Tuan? Majikanku sangat kaya raya. Dia punya banyak tanah di hampir seluruh kota ini. Dia juga punya banyak gandum. Dia majikanku yang baik, dan tentu tidak akan membiarkanku kelaparan.”
Mendengar jawaban itu, tubuh Syaqiq terasa mengigil. Hilang semua pengendalian dirinya.
“Ya Alllah,” pekiknya lemas. “Budak ini sangat gembira memiliki majikan yang begitu baik. Lantas, mengapa aku bersedih hati, padahal Engkau Sang Maha Baik? Budak ini begitu suka cita karena memiliki banyak simpanan gandum. Lantas, mengapa aku begitu marah pada kekurangan dan meratapinya sebagai duka? Padahal, Engkau Sang Raja Pemilik Segala yang akan menjamin segala kehidupan semua makhluk ciptaan-Mu.” kata Syaqiq seraya meneteskan air mata penyesalan.
“Tuhan, aku adalah murid seorang budak,” lanjutnya sembari merenung, mensyukuri atas apa pun yang Allah berikan padanya.
-------
Fariduddin Athttar berkisah tentang Abu Ali Syaqiq ibnu Ibrahim al Azdi al Balkhi. Konon, sejak peristiwa itu, Syaqiq yang kala itu gemar berdagang, berpaling ke jalan asketis.
Ia mengabdikan sisa hidupnya untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dan, kemudian menuliskannya menjadi buku-buku yang sangat dinanti para penikmat karyanya. Sebuah sumber menyebutkan, bahwa Syaqiq bahkan telah belajar dari 1.700 guru di berbagai belahan dunia.
Syaqiq berhaji ke Makkah dan meninggal di sana pada 194 H/ 810 M.
================================================================
Ucapan Anak Kecil yang Membuat Imam Abu Hanifah Menangis
Penulis : LS
Nak, hati-hati berjalan dengan sepatu kayumu. Jangan sampai kau tergelincir.
Suatu ketika, Imam Abu Hanifah sedang berjalan. Dalam perjalanan itu, ia berpapasan dengan seorang anak kecil.
Melihat anak kecil itu mengenakan sepatu kayu, tiba-tiba terlintas rasa khawatir dalam benak Abu Hanifah. Ia pun mengingatkan, “Nak, hati-hati berjalan dengan sepatu kayumu. Jangan sampai kau tergelincir,” ujarnya menasihati.
Bocah miskin itu tersenyum, menyambut perhatian pendiri mazhab Hanafi ini dengan ucapan terima kasih.
“Bolehkah saya tahu nama Tuan?” tanya sang bocah.
“Nu’man.”
“Oh, jadi ini kah Tuan yang terkenal dengan sebutan Imam al-a‘dham (imam agung) itu?”
“Benar, tapi bukan aku yang menyematkan gelar tinggi itu. Masyarakat menyambut baik apa yang aku lakukan, dan mereka memberiku gelar itu.”
“Wahai Imam, hati-hati dengan gelarmu. Jangan sampai Tuan tergelincir ke neraka gara-gara gelar itu. Sepatu kayuku ini mungkin hanya menggelincirkanku di dunia. Tapi gelarmu itu dapat menjerumuskanmu ke kubangan api yang kekal jika kesombongan dan keangkuhan menyertainya.”
Mendengar ucapan bocah itu, ulama besar yang memiliki banyak pengikut itu, tersungkur menangis. Betapa ia menyadari bahwa setinggi apa pun gelar yang disematkan manusia tiada akan bermakna di mata Tuhan, bila tebersit segelintir saja api kesombongan.
Melalui lidah bocah kecil, Imam Hanafi bersyukur. Siapa sangka, ucapan seorang anak yang kadang diaggap remeh ternyata mengandung pesan Tuhan.
-----
Imam Abu Hanifah memiliki nama lengkap Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi. Lahir di kota Anbar, Kufah pada tahun 80 H/699 M.
Seiring berjalannya waktu, dengan keilmuannya yang mumpuni, Abu Hanifah kemudian dikenal luas sebagai ulama yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan dalam segala bidang. Tak heran, jika akhirnya ia mendapat gelar Imam al-a‘dham (imam agung)—yang menjadi panutan kaum Muslimin.
Bahkan, Muhammad ibn Maslamah berkata: “Ilmu agama diturunkan oleh Allah kepada Nabi saw. Kemudian diturunkan kepada para sahabat. Kemudian diturunkan kepada tabi’in. Kemudian diturunkan kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya.”
Hal ini diaminkan oleh Imam Al-Syafi’i dengan mengatakan, “Barangsiapa hendak mengetahui ilmu fiqih, maka belajarlah kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya. Karena manusia dalam bidang fiqih membutuhkan Abu Hanifah.”
Kini, tulisan-tulisan Imam Abu Hanifah menjadi madzhab penting dalam ajaran Islam, yakni Madzhab Hanafi.
Berbagai Sumber
================================================================
Ingin Haji atau Wisata?
Penulis : Lina
Suatu ketika, seorang pemuda menemui Bisyr untuk meminta nasihat, “Aku memiliki uang sebanyak dua ribu dirham. Uang itu tentu aku dapatkan dari cara halal. Karenanya, aku ingin pergi haji.”
“Apakah kau akan sambil berwisata di sana?” selidik Bisyr.
“Saya ingin haji, sekaligus melihat keindahan tanah Haram (Makkah) itu” jawab sang pemuda.
“Jika engkau sungguh-sungguh ingin meraih keridhan Allah, pergilah dan lunasi utang seseorang, atau berikan uang itu pada anak yatim atau fakir miskin,” Bisyr menasihati.
“Wahai Bisyr, aku ingin berkunjung ke Baitullah. Aku rindu menemui istana-Nya. Maaf, kalau saya tetap akan berhaji.”
Dengan tenang, Bisyr pun menjawab, “Saudaraku, meringankan beban seorang Muslim lebih dicintai Allah daripada naik haji seratus kali,” jelasnya.
“Aku tetap akan berhaji. Ini uangku, uang yang kuperoleh dari kerja kerasku selama ini!” Sang pemuda menanggapi.
“Silakan, karena uangmu tidak didapat dari cara yang baik, maka engkau tidak akan tenang sebelum membelanjakannya di jalan yang salah.”
Ya, kadang keinginan kuat kita untuk berhaji, menemui Baitullah, memenuhi panggilan-Nya guna menunaikan rukun Islam yang terakhir ini, juga berbanding lurus dengan harapan kita pada hal-hal yang bersifat duniawi (wisata).
Padahal, bukankah ibadah haji pada hakikatnya hanya diperuntukkan bagi Allah, untuk mendapat ridha-Nya? Juga, bukankah ketika hendak menemui rumah Allah, dibutuhkan persiapan—yang bukan hanya terbatas pada harta benda atau besarnya materi?
Bukankah kehadiran ke Baitullah tidak lain untuk sungguh-sungguh beribadah, menjalankan segala perintah-Nya, bersujud sekuat tenaga meminta ampun atas segala dosa? Meluruskan niat hingga nanti ketika kembali kita bisa menjadi haji mabrur.
Dan, bukankah niat seseorang akan berpengaruh pada tindakan? Lantas, bagaimana jika kita masih memiliki niat berhaji sembari berwisata?
----
Fariduddin Athtar berkisah tentang Abu Nasr Bisyr ibnu al Harits al Hafi. Ia lahir di dekat Merv pada 150 H/767 M dan kemudian menempuh pendidikan di Baghdad. Bisyr, selain dikenal sebagai seorang alim, ia juga dikenal sebagai sufi yang menjalani kehidupan sederhana.
Konon, ia terlahir dari keluarga yang kaya raya. Ia pun hidup hedonis. Namun, suatu ketika ia menyadari bahwa kehidupannya yang seperti itu ternyata tidak memberikan ketenangan dalam jiwanya. Alhasil, ia pun berpaling dari model kehidupan lamanya dan mengubah arah hidupnya untuk selalu membantu sesama.
Bisyr dikagumi Ahmad ibnu Hanbal dan dihormati oleh Khalifah al Ma’Mun. Ia wafat pada 227 H/841 M di Baghdad.
================================================================
Kala Yusuf Sepelekan Amanah Tuhan
Penulis : Lina Sellin
Bagaimana mungkin engkau bisa mengenal-Nya, sementara kau lupa dengan amanahmu?
Suatu ketika Yusuf bermimpi telah dikelilingi bidadari nan cantik jelita. Namun, dalam mimpi itu, ia juga diperintah untuk belajar tentang Allah pada seorang ulama besar Mesir bernama Dzun Nun.
Yusuf yang kala itu dipenuhi rasa penasaran pun, segera mencari alamat Dzun Nun. Tak berlangsung lama, akhirnya rumah Dzun Nun ditemukan.
Sesampainya di kediaman, Yusuf mengucap salam lalu duduk di samping Dzun Nun. Usai menjawab salam, Dzun Nun kemudian bertanya, “Dari mana asalmu?”
“Dari Rayy,” jawab Yusuf singkat.
“Apa keperluanmu?” tanya Dzun Nun kembali.
“Aku datang untuk memintamu mengajarkanku nama Allah yang teragung,” jawab Yusuf.
Dzun Nun tidak langsung merespon permintaan Yusuf tersebut, hingga setahun pun berlalu.
Pada suatu hari, Dzun Nun menemui Yusuf, dan berkata, “Temuilah seorang kakek di sebrang sungai Nil. Berikan bejana ini padanya, dan ingatlah apa saja yang ia berikan padamu.”
Yusuf pun menurut. Dengan wajah sumringah, ia segera bergegas meninggalkan rumah Dzun Nun dan melangkahkan kakinya menuju tempat yang dimaksud—dengan membawa bejana. Namun, hatinya penuh tanya, ‘Apa isi bejana ini, mengapa seperti ada yang bergerak-gerak?’
Karena perjalanan yang cukup jauh, dan ia semakin penasaran dengan isi bejana itu, Yusuf akhirnya memutuskan untuk membukanya.
Di luar dugaan, seekor tikus melompat keluar dari bejana dan melarikan diri. Terang saja, peristiwa ini sontak membuat Yusuf kebingungan.
“Ke mana aku harus pergi? Meneruskan perjalanan dan menemui tetua itu, atau kembali ke Dzun Nun dan melaporkan kejadian yang sebenarnya?” Gumam Yusuf.
Tak mau disalahkan dan mendapat penolakan kesekian kalinya untuk mendapatkan ilmu tentang Tuhan, akhirnya Yusuf memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di tempat sang kakek, kebingungan Yusuf semakin bertambah. Antara takut, sedih, rasa bersalah, kecewa, semua itu bercampur menjadi satu. Tapi, tekadnya sudah bulat. Ia ingin mengenal Tuhan, juga ingin segera tahu apa hubungannya dengan para bidadari yang hadir dalam mimpinya itu.
Yusuf mengetuk pintu, mengucap salam dan kemudian duduk di beranda rumah sang kakek. Tak lama kemudian, muncullah orang yang dicari. Sang kakek membuka pintu dan menyapanya dengan senyum sembari membalas salam.
Tak sabar menunggu, Yusuf akhirnya mengawali pembicaraan dengan menceritakan peristiwa yang terjadi padanya. Dari mulai mimpinya—yang dianggap aneh, juga tentang Dzun Nun yang menyuruhnya membawakan bejana berisi seekor tikus.
Mendengar penjelasan Yusuf, tetua itu berkata, “Anak Muda, Dzun Nun melihat ketidaksabaranmu. Makanya dia memberimu seekor tikus,”
“Maha besar Allah yang telah mengujimu hanya dengan seekor tikus kecil. Sayangnya, hanya dengan seekor tikus saja, engkau tak dapat menjaga amanah-Nya. Lantas, bagaimana mungkin engkau bisa mengenal-Nya yang Maha Agung itu?” lanjut sang kakek.
Yusuf menundukkan kepala, ia merasa malu mendengar apa yang barusan diungkapkan sang kakek.
“Tuhanmu begitu mulia, kau akan mengenal-Nya, ketika kau dapat menjaga amanah-amanah-Nya. Beruntunglah saat Dzun Nun hanya memberimu amanah kecil berupa tikus itu, bagaimana jika ia mengujimu dengan amanah yang lebih besar dari itu?”
---
Fariduddin Aththar berkisah tentang Abu Ya’qub Yusuf ibnu Al Husein ar Radhi. Seorang pemuda yang begitu digandrungi para perempuan karena ketampanannya.
Konon, awalnya Yusuf begitu menyukai ketika para perempuan memuji dirinya. Namun, sejak malam itu, tatkala ia mendapatkan mimpi tentang bidadari dan Dzun Nun, ia pun merasa malu, dan mengabdikan hidupnya untuk belajar tentang Islam pada ulama besar Mesir kala itu.
Ya, bukankah apa pun yang diberikan Tuhan pada manusia, sekecil dan semegah apapun tidak lain merupakan amanah-Nya?—yang bisa jadi dapat mengantarkan kita untuk mengenal-Nya lebih dalam.
Yusuf akhirnya kembali ke Rayy dan berkhothbah atas perintah Dzun Nun. Ia mengembuskan nafas terakhirnya di Rayy pada 304 H/916 M.
=============================================================
Tolak Jumpa Rasul, Uwais Masuk Surga
Penulis : Lina
Wahai Nabi Allah, bagaimana bisa ia menjadi penghuni langit, sementara ia menolak berjumpa denganmu?
Pada suatu hari, Rasul Saw. segera mendatangi isteri tercinta, Aisyah Ra., dan bertanya, “Aisyah, apakah ada seorang dari Yaman mencariku?”
“Benar, wahai Rasul! Jawab Aisyah. Ia sengaja berangkat dari Yaman karena ingin menemuimu. Tapi, karena engkau tidak ada dan ia telah berjanji tak akan meninggalkan ibunya terlalu lama, maka ia buru-buru pulang ke negerinya. Padahal saya sudah katakan sebentar lagi engkau akan tiba!”
Mendengar jawaban Aisyah, Umar dan Ali yang kala itu sedang berada di rumah Rasul pun sontak saling berpandangan. Mereka berpikir bahwa jarak dari Yaman ke Madinah terbentang begitu jauh, yakni sekitar 1000 kilo meter lebih. Artinya, orang itu telah bersusah payah datang ke Madinah. Tapi mengapa ia menolak memberikan sedikit waktunya untuk menunggu kedatangan Rasul dan memilih pulang untuk menemui ibunya? Mengapa ia lebih suka tidak berjumpa dengan Rasul ketimbang membuat hati ibunya kecewa?.
Melihat gelagat para sahabatnya itu, Rasul kemudian tersenyum dan berkata, “Dia lah penghuni langit. Jika kalian berjumpa dengannya, jangan lupa meminta doa agar mendapat ampunan dari Allah,” pesan Rasul. Saw.
“Wahai Nabi Allah, bagaimana bisa ia menjadi penghuni langit, sementara ia menolak berjumpa denganmu?” sergah salah satu sahabat.
“Karena pengabdiannya yang begitu tulus pada Ibundanya, maka Uwais berhak diangkat menjadi penghuni surga. Ia bukan penduduk bumi,” jawab Rasul Saw. dengan ramah.
---
Pemuda yang dimaksud Rasul itu bernama Uwais Al Qarani. Seorang pemuda Yaman yang begitu mencintai ibunya, dan rela melupakan keinginannya jumpa dengan rasul demi sang ibunda. Ia juga rela melupakan lelahnya perjalanan ribuan kilo meter dan kembali ke negerinya dengan tangan hampa demi tidak membuat ibunya kecewa.
Bayangkan, ia menolak jumpa dengan orang nomor satu di dunia, bahkan mungkin di akhirat--sebagai satu-satunya kekasih Allah, demi sang Ibunda. Lantas, bagaimana dengan kita (yang kadang melupakan ibunda, melupakan perintah orang tua--untuk hal hal-hal yang sepele, misal main dengan teman, dsb.?) Bukankah menolak bertemu Rasul demi ibunda, Uwais mendapat balasan surga?
Kisah ini merupakan adaptasi dari hadis Muslim.
===============================================================
Rasul pun Menolak (Jihad) Demi Orang Tua
Penulis : Lina
Setiap dosa diakhirkan (adzabnya) oleh Allah Swt. sesuai kehendak-Nya sampai hari kiamat, kecuali durhaka kepada orang tua--Rasul Saw.
Suatu hari, seorang pemuda gagah mendatangi Rasul Saw., yang kala itu sedang duduk di beranda masjid Nabawi bersama para sahabatnya. Melihat kedatangan pemuda itu, Rasul pun menyambutnya dengan salam dan bercakap-cakap.
Tiba-tiba, sang pemuda melontarkan keinginannya, “Wahai Rasul, aku telah percaya dengan Islam. Aku juga menyatakan bahwa engkaulah utusan Allah. Bolehkah aku berjuang (jihad) di jalan Allah dan mengikuti jejakmu agar memperoleh pahala dari Tuhan?”
Mendengar penuturan itu, Rasul kemudian bertanya dengan santun, “Apakah salah seorang di antara kedua orang tuamu masih hidup?”
“Ya, kedua orang tuaku malah masih hidup,” jawab pemuda Yaman itu.
“Apakah kau sungguh-sungguh ingin mendapatkan pahala dari Allah?” tanya Rasul menanggapi.
“Tentu, wahai Rasul!” jawab pemuda seraya menerawang, bingung atas pertanyaan Rasul tersebut.
“Pulanglah pada kedua orang tuamu. Jihad seorang anak adalah berbakti pada kedua orang tuanya dengan baik,” jawab Rasul.
“Tapi, wahai Rasul, aku ingin mendapatkan pahala syurga, dan bukankah engkau saat ini sedang membutuhkan pasukan untuk menguatkan barisan Islam?” jawab pemuda menegaskan.
“Syurgamu ada pada baktimu terhadap kedua orang tuamu. Ridha orang tua tidak kurang nilainya bila dibandingkan dengan perjuanganmu di jalan Allah, pulanglah. Allah ridha saat orang tuamu ridha. Jihadmu ada pada kedua orang tuamu,” jelas Rasul.
-----
Konon, percakapan ini terjadi ketika Rasul berada dalam fase perpindahan awal hijrah dari Mekah ke Madinah (Yatsrib kala itu). Meski kehadiran pasukan Rasul disambut baik oleh masyarakat Madinah, namun bukan berarti beliau tidak menemukan kesulitan. Rongrongan silih berganti dari berbagai golongan yang tidak sependapat dengan Rasul.
Dan, pada suatu ketika terjadilah peristiwa dimana umat Muslim berada dalam posisi tertekan. Pemuda itu pun kemudian mendatangi Rasul.
Bayangkan, betapa mulia posisi orang tua di hadapan Allah. Ridha-Nya disejajarkan dengan ridha orang tua. Bahkan, Rasul menolak seorang pemuda gagah yang merengek meminta izin untuk mengikuti jihad dengan alasan pahala syurga—yang kala itu sedang dibutuhkan guna mempertahan Islam di Madinah. Lantas, bagaimana dengan (jihad) kita saat ini? Bukankah Rasul menolak jihad sang pemuda dan lebih memilih agar berbakti pada orang tua?
=================================================================
Rasul pun Menangis
Penulis : Lina
Hati Rasul Saw. begitu gembira saat istrinya, Mariyah Al Qibtiyah melahirkan seorang putra. Setelah shalat dan berdoa, Rasul kemudian memangku sang bayi dan memberikan nama kepada buah hatinya itu serupa dengan nenek moyang beliau, Ibrahim As.
Beberapa hari kemudian, Rasul menyembelih dua ekor domba, mencukur rambut sang bayi, dan bersedekah kepada kaum fakir miskin Madinah.
Melihat wajah Rasul yang sangat sumringah, para ibu-ibu Anshar berebut untuk ikut memberikan kegembiraan itu. Yakni dengan cara menawarkan diri mereka untuk bisa menyusui sang bayi.
Ibrahim akhirnya disusui seorang tukang pandai besi bernama Abu Saif yang bermukim di perbukitan Madinah.
Namun, kebahagiaan Rasul tak berlangsung lama. Sekitar satu tahun kemudian, sang putra dirundung sakit. Beliau pun mendatangi sang putra bersama Abdurrahman bin Auf. Lalu, memangkunya, mengambil Ibrahim dari pangkuan ibunya, Mariah Al Qibtiyah.
Dalam keadaan hampir meninggal dunia, Rasul berkata, “Sungguh Ibrahim, kami tidak dapat berbuat apa-apa untuk melindungimu dari kekuasaan Allah.”
Air mata Rasul berlinang, melihat putra kesayangannya menghadapi sakaratulmaut. Kemudian, beliau mendengar suara tarikan nafas terakhir putranya tersebut. “Ibrahim sudah wafat,” ucap Rasulallah.
Mendengar itu, Mariah dan Sirin, bibinya sontak kaget dan sedih. Sementara itu, Rasul mendekap sang putra sembari meneteskan air mata.
Melihat itu, Abdurraman bin Auf berkata lirih kepada beliau, “Wahai Rasul, engkau juga menangis?”
“Abdurrahman, air mata kami mengalir, hati sedih, namun kami tidak mengeluarkan kata-kata kecuali yang diridhai Allah. Sungguh, kami betul-betul sedih dengan kepergian Ibrahim.” Jawab Rasul menahan pilu.
----
Kisah ini diceritakan kembali dari sebuah hadist yang dituturkan oleh Muttafaq Alaih (Bukhari dan Muslim) dari Anas bin Malik. Diolah dari buku Mutiara Akhlak Rasulallah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar